Masyarakat menuntut perusahaan agar menjalankan usahanya secara bertanggung jawab dan memberikan kontribusi positif terhadap lingkungan sekitarnya. Tuntutan tersebut meningkatkan kesadaran dan kepekaan perusahaan sehingga melahirkan konsep tanggung jawab sosial atau Corporate Social Responsibility (CSR). CSR menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan pertumbuhan dan kelangsungan hidup perusahaan di masa yang akan datang. Sehingga CSR merupakan investasi masa depan perusahaan untuk menciptakan pembangunan berkelanjutan.
Konsep CSR dipopulerkan pada tahun 1953 oleh Howard R. Bowen yang kemudian dikenal dengan Bapak CSR, dengan bukunya yang berjudul “Social Responsibilities of the Businessman”
Definisi lain dari CSR juga dikemukakan oleh Elkington (1997) melalui bukunya “Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Bussiness”, dimana sebuah perusahaan yang menunjukkan tanggung jawab sosialnya akan memberikan perhatian secara berimbang kepada 3P yaitu Profit, People dan Planet. Profit artinya peningkatan kualitas perusahaan; People artinya masyarakat, khususnya komunitas sekitar ; dan Planet artinya lingkungan hidup.
Bentuk tanggungjawab perusahaan terhadap sosial dan lingkungannya disebut DEAF yaitu (Suharto, 2007)
• Dehumanisasi industri.
Efisiensi dan mekanisasi yang semakin menguat di dunia industri telah menciptakan persoalan-persoalan kemanusiaan baik bagi kalangan buruh di perusahaan tersebut, maupun bagi masyarakat di sekitar perusahaan. Akusisi satu perusahaan terhadap perusahaan lain, merger, restrukturisasi dan perampingan perusahaan telah menimbulkan gelombang PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dan pengangguran. Disisi lain, ekspansi dan eksploitasi dunia industri telah melahirkan polusi dan kerusakan lingkungan yang hebat.
• Equalisasi hak-hak publik.
Di era informasi sekarang ini, masyarakat semakin sadar akan haknya. Mereka meminta pertanggungjawaban perusahaan atas berbagai masalah sosial dan lingkungan yang ditimbulkan oleh perusahaan. Kesadaran ini menuntut transparansi dan akuntabilitas perusahaan bukan saja dalam proses pembuangan limbah, melainkan juga dengan kepedulian perusahaan terhadap berbagai dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkannya.
• Aquariumisasi dunia industri.
Dunia kerja kini semakin transparan dan terbuka laksana sebuah akuarium. Perusahaan yang hanya memburu keuntungan semata dan mengabaikan hukum, kaidah lingkungan dan filantropis akan mendapat penolakan dari publik. Bahkan dalam banyak kasus, masyarakat menuntut agar perusahaan seperti ini ditutup.
• Feminisasi dunia kerja.
Semakin banyaknya wanita yang bekerja menuntut penyesuaian perusahaan bukan saja terhadap lingkungan internal perusahaan, seperti pemberian cuti hamil dan melahirkan, keselamatan dan kesehatan kerja. Melainkan pula terhadap timbulnya biaya-biaya sosial, seperti penelantaran anak, kenakalan remaja, akibat berkurangnya atau hilangnya kehadiran ibu-ibu di rumah dan tentunya di lingkungan masyarakat. Pelayanan sosial seperti perawatan anak, pendirian fasilitas pendidikan dan kesehatan bagi anak-anak, atau pusat-pusat kegiatan olah raga dan rekreasi bagi remaja bisa merupakan sebuah kompensasi sosial terhadap isu ini.
Dasar hukum pelaksanaan CSR di Indonesia diatur oleh Undang-Undang Perseroan Terbatas (PT) No.40 Tahun 2007 pasal 74 ayat 1 menyebutkan bahwa PT yang menjalankan usaha di bidang dan/atau bersangkutan dengan sumber daya alam wajib menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Namun UU PT tidak menyebutkan secara rinci berapa besaran biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk CSR serta sanksi bagi yang melanggar. Pada ayat 2, 3 dan 4 hanya disebutkan bahwa CSR “dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran”. PT yang tidak melakukan CSR dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai CSR ini baru akan diatur oleh Peraturan Pemerintah.
Implikasi UU PT adalah
• CSR oleh UUPT telah ditetapkan sebagai kewajiban hukum bukan sebagai kewajiban moral yang pelaksanaannya bersifat sukarela;
• CSR hanya diberlakukan terbatas pada perseroan yang menjalankan usahanya di bidang sumber daya alam atau berkaitan dengan sumber daya alam;
• Apabila perseroan tersebut tidak melaksanakan CSR dikenakan sanksi;
• Pendanaan untuk kegiatan CSR itu dapat dianggarkan dan pengeluarannya dapat diperhitungkan sebagai biaya perseroan;
Peraturan lain yang menyentuh CSR adalah UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
• Pasal 15 huruf b UUPM menyatakan bahwa setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.
• Pasal 16 huruf d menyatakan bahwa setiap penanam modal bertanggungjawab terhadap kelestarian lingkungan hidup.
• Pasal 16 huruf e UUPM menyatakan bahwa setiap penanam modal bertanggungjawab untuk menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja.
• Selanjutnya Pasal 17 UUPM menentukan bahwa penanam modal yang mengusahakan sumber daya alam yang tidak terbarukan wajib mengalokasikan dana secara bertahap untuk pemulihan lokasi yang memenuhi standar kelayakan lingkungan hidup yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Peraturan tentang CSR yang relatif lebih terperinci adalah UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN. UU ini kemudiaan dijabarkan lebih jauh oleh Peraturan Menteri Negara BUMN No.4 Tahun 2007 yang mengatur mulai dari besaran dana hingga tatacara pelaksanaan CSR. Bentuk CSR milik BUMN adalah Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL).
Dalam UU BUMN dinyatakan bahwa selain mencari keuntungan, peran BUMN adalah juga memberikan bimbingan bantuan secara aktif kepada pengusaha golongan lemah, koperasi dan masyarakat. Selanjutnya, Permen Negara BUMN menjelaskan bahwa sumber dana PKBL berasal dari penyisihan laba bersih perusahaan sebesar 2 persen yang dapat digunakan untuk Program Kemitraan ataupun Bina Lingkungan. Peraturan ini juga menegaskan bahwa pihak-pihak yang berhak mendapat pinjaman adalah pengusaha beraset bersih maksimal Rp 200 juta atau beromset paling banyak Rp 1 miliar per tahun
Walaupun CSR telah diatur dalam Undang-undang, namun ada penolakan dari sebagian kalangan dunia usaha karena :
• Belum jelasnya kriteria perusahaan yang digolongkan mempunyai usaha di bidang dan/atau berkaitan dengan Sumber Daya Alam
• Dianggap menjadi tambahan biaya bagi perusahaan dan menjadi salah satu sumber biaya ekonomi “tinggi” sehingga berdampak buruk terhadap Iklim Investasi
• Belum jelas mekanisme tentang sumberdana, besarnya alokasi, siapa pemungut dan pengawas pelaksanaan CSR.
• CSR bersifat “Mandatory” dan adanya sanksi bagi yang tidak melaksanakannya sementara berdasarkan best practices pelaksanaan CSR bersifat sukarela
Beberapa manfaat pelaksanaan CSR, diantaranya adalah
• CSR dapat menyeimbangkan potensi dan kekuatan perusahaan
• CSR dapat menjaga hubungan baik dengan pemerintah
• CSR merupakan bentuk promosi jangka panjang
• CSR dapat memperbaiki citra perusahaan
• CSR merupakan respons atas kebutuhan dan pengharapan publik
• CSR dapat memperbaiki masalah sosial yang disebabkan oleh kegiatan bisnis
• CSR dapat mencegah kesulitan dari awal
• CSR merupakan bentuk kegiatan moral perusahaan
• CSR dapat memperkuat kinerja dan keuntungan ekonomi yang lebih efisien dan berkelanjutan;
• CSR dapat meningkatkan komitmen para pekerja;
• CSR dapat memantapkan akuntabilitas perusahaan terkait investasi sosial dan kemasyarakatan;
• CSR dapat mengurangi kerentanan dan instabilitas operasi perusahaan terkait menguatnya hubungan dengan masyarakat;
Ada beberapa motivasi perusahaan melakukan CSR, diantara ialah:
• Tahap pertama adalah corporate charity, yakni dorongan amal berdasarkan motivasi spritualitas.
• Tahap kedua adalah corporate philantrophy, yakni dorongan kemanusiaan yang biasanya bersumber dari norma dan nilai-nilai universal untuk menolong sesama dan memperjuangkan keadilan sosial.
• Tahap ketiga adalah corporate citizenship, yaitu motivasi kewargaan demi mewujudkan keadilan sosial berdasarkan prinsip partisipasi sosial dengan cara melakukan pemberdayaan
Bentuk kegiatan CSR di bidang Sosial
• Pendidikan, pelatihan, kesehatan, perumahan,
• penguatan kelembagaan (secara internal, termasuk kesejahteraan karyawan)
• kesejahteraan sosial, olahraga, pemuda, wanita, agama, kebudayaan dan sebagainya
Bentuk kegiatan CSR di bidang ekonomi
• Kewirausahaan, kelompok usaha bersama/unit mikro kecil dan menengah (KUB/UMKM),
• agrobisnis,
• pembukaan lapangan kerja,
• infrastruktur ekonomi dan
• Usaha produktif lain
Bentuk kegiatan CSR di bidang lingkungan
• Penghijauan,
• reklamasi lahan,
• pengelolaan,
• pelestarian alam,
• ekowisata penyehatan lingkungan,
• Pengendalian polusi, serta
• penggunaan produksi dan energi secara efisien.