LingkunganUncategorized

Belajar Dari Negara Lain Menangani Banjir

1. Cara Thailand Menangani Banjir

Selain berhasil menekan kemacetan dengan pengembangan kereta bawah tanah, Bangkok, Ibukota Thailand, juga telah lama berhasil mengendalikan banjir. Bangkok telah berpengalaman puluhan tahun dalam menghadapi banjir yang menimpa daerahnya. Warganya tidak lagi perlu takut akan akan adanya banjir parah, karena ibukota Thailand ini mempunyai sistem yang disebut “pipi monyet”.

Pipi monyet adalah sistem penampungan yang terdiri dari 21 wadah penampungan air hujan. Penampungan ini dapat menampung air hujan yang berlebih hingga 30 juta kubik. Lalu pada musim panas, air ini dapat digunakan untuk keperluan konsumsi warga Bangkok, termasuk diantaranya air minum dan air keran.

“Nama ini terinspirasi dari monyet yang biasanya makan berlebih. Kelebihan makanan ini disimpan di pipinya, sehingga pipinya menggembung. Ketika nanti dia merasa lapar, dia akan memakan makanan di pipinya tersebut.

Sebenarnya Bangkok yang terletak satu meter di bawah permukaan laut rawan terkena banjir. Ditambah lagi jika terjadi hujan lebat, gelombang tinggi dari sungai Chao Praya akan meluap hingga ke pusat kota.

Bangkok juga memiliki tanggul sepanjang 72 kilometer dan saluran air sepanjang 75 kilometer untuk mengalirkan air yang meluap dari sungai Chao Phraya. Sistem pengendalian banjir ini mulai dikembangkan oleh Bangkok setelah kota ini didera banjir parah 27 tahun lalu. Kala itu Bangkok tenggelam selama hampir tiga bulan.

Namun saat ini pipi monyet tak mampu membendung air hujan yang terus mengguyur Thailand. Hal tersebut karena ekploitasi air tanah besar-besaran yang menyebabkan turunnya permukaan tanah. Penduduk Kota Bangkok tinggal di tanah endapan (delta) yang dibentuk oleh Sungai Chao Phraya. Di bawah delta ini terdapat lapisan akifer yang menjadi tandon air raksasa bagi penduduk kota. Selama puluhan tahun terakhir penduduk Bangkok hanya menggunakan air tanah sebagai sumber air bersih.

Banjir akibat penurunan permukaan tanah berdampak fatal. Berbeda dengan banjir umumnya, sangat sulit menguras air agar keluar dari kota. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah membangun bendungan kuat di pinggir sungai. Cara ini berfungsi menahan bertambahnya air sungai masuk ke kota. Setelah itu barulah pemerintah menciptakan drainase baru untuk memompa air dari darat ke sungai atau laut.

2. Cara Bangladesh Menangani Banjir

Bangladesh bisa disebut sebagai “Negara Banjir Dunia”. Bangladesh adalah negara yang paling banyak terkena banjir, dikarenakan topografi dan lokasi geografisnya. Sekitar 20-25 % kawasan Bangladesh adalah daerah genangan air saat musim monsoon terjadi. Banjir tersebut menyediakan tanah pertanian yang subur dan daerah banjir di Bangladesh tingkat populasinya padat .

Bangladesh memiliki 230 sungai. Sebanyak 57 di antaranya adalah sungai internasional (sungainya lintas negara). Tiga sungai lintas batas yang besar yakni Sungai Gangga, Brahmanaputra, dan Meghna, hanya 7% dari daerah tangkapan airnya yang berada di Bangladesh. Sungai-sungai utama panjangnya mulai dari 500 hingga 2.500 km dengan lebar berkisar dari 1 hingga 20 km dengan tingkat kemiringan yang sangat datar.

Banjir di Bangladesh terbagi menjadi dua tipe, banjir rutin atau barsha yang menggenangi hingga 20% wilayah Bangladesh dan banjir frekuensi rendah dengan besaran tinggi, dikenal dengan sebutan bonna, yang dapat menggenangi lebih dari 35% wilayah Bangladesh. Akhtar Hossain dari Bangladesh Water Development Board menyatakan, dalam setengah abad terakhir, sedikitnya terjadi delapan kali kejadian banjir ekstrem yang menimpa 50-70% wilayah Bangladesh. Kejadian ekstrem ini ditimbulkan akibat curah hujan tinggi di daerah tangkapan air (biasanya mulai pertengahan Juli hingga pertengahan September). Durasi dari banjir ini berkisar antara 15 hingga 45 hari.

Penanganan banjir di Bangladesh dibagi empat hal. Pertama dari strategi mitigasi dan manajemen banjir. Awalnya, strategi penanganan banjir di Bangladesh dititikberatkan pada langkah-langkah struktural berupa projek skala besar pengontrol banjir, drainase, dan irigasi. Kemudian disadari hal semacam itu selain membutuhkan dana sangat besar, juga memerlukan waktu lama . Oleh karenanya, kemudian dialihkan pada pembangunan pengontrol banjir, drainase, dan irigasi skala kecil dan sedang. Sejak 1960, sekitar 628 projek skala kecil, sedang, dan besar dari pengontrol banjir, drainase, dan irigasi telah diimplementasikan di Bangladesh. Infrastruktur tersebut diharapkan dapat melindungi 5,37 juta hektare tanah mencakup 35% total wilayah Bangladesh.

Mitigasi struktural saja, ternyata tidak dapat mengatasi banjir. Bahkan, beberapa infrastruktur yang dibangun mengalami kerusakan karena erosi dan bobol seperti halnya Bendungan Gumti di Etbapur banjir 1999. Langkah-langkah nonstruktural seperti prakiraan banjir dan peringatan dini akhirnya dilakukan. Sistem peringatan dini dan prakiraan banjir Bangladesh dibuat 1970, dimodernisasi 1996, dan kemudian 2000. Sistem tersebut saat ini mencakup semua daerah rawan banjir di Bangladesh. Terdiri dari 85 stasiun pemantau banjir yang menyajikan informasi banjir real time dan peringatan dini dengan waktu persiapan 24-48 jam.

Pelibatan masyarakat dalam manajemen banjir pun dilakukan. Ada hal menarik di Bangladesh ini. Filosofi bagaimana untuk hidup bersama risiko banjir pun muncul berkembang di masyarakat. Ini tidak terlepas dari “kesadaran kolektif” masyarakat Bangladesh bahwa justru banjir memberikan dampak positif tersendiri bagi kesuburan lahan pertanian mereka. Dengan slogan “biarkan sungai meluap” dan “berhati-hatilah dari bahaya”, masyarakat Bangladesh membiarkan sungai meluap, namun mereka tetap waspada akan bahaya dan melakukan persiapan menyambut banjir.

Kedua, instrumen hukum dalam manajemen dan banjir, dibuat dengan terbitnya berbagai macam regulasi, yang kemudian diintegrasikan dalam National Water Code. Pengembangan sistem pengumpulan data hidrologis pun dibangun dengan data selama kurun waktu 40 tahun terakhir. Termasuk juga di dalamnya sistem pengumpulan data curah hujan dan debit air real time, yang diseleksi dari beberapa stasiun pemantau banjir selama musim monsoon. Data-data itu digunakan untuk berbagai jenis perencanaan dan desain penanganan banjir baik yang bersifat struktural maupun nonstruktural.

Ketiga, dari institusi yang bertanggung jawab pada penanganan banjir. Terdapat 53 organisasi pemerintah pusat dan 13 kementrian dilibatkan dalam manajemen air dan tahapan berbeda dari penanganan banjir yang dikoordinasikan National Water Board (Dewan Air Nasional). Ada delapan organisasi yang terlibat dalam manajemen banjir dalam tahapan berbeda. Pertama, Water Resources Planning Organization, terlibat dalam perencanaan makro manajemen sumber daya air. Kedua, Bangladesh Water Development Board, terlibat dalam studi kelayakan, implementasi, operasi, dan perawatan projek-projek manajemen banjir, pengumpulan data real time. Ketiga, Joint River Commision, untuk melakukan negoisasi pertukaran data dan informasi sungai-sungai lintas batas negara. Keempat, Bangladesh Meteorological Department, untuk prakiraan dan diseminasi prakiraan cuaca jangka pendek, menengah, dan panjang. Kelima, Local Government Engineering Department untuk implementasi, operasi, dan manajemen projek pengontrol banjir serta drainase skala kecil.

Selanjutnya, keenam, Disaster Management Bureau yang mendiseminasikan segala macam informasi bencana alam, termasuk informasi banjir pada tingkat masyarakat, membangun kesiapsiagaan banjir masyarakat, dan sebagainya. Ketujuh, Directorate of Relief, yang melakukan bantuan dan rehabilitasi di daerah yang terkena banjir. Terakhir, Local Government Institution yang melakukan kegiatan implementasi projek-projek skala kecil manajemen banjir, diseminasi informasi banjir, bantuan, dan rehabilitasi korban banjir.

Hal terakhir, terkait dengan kebijakan. Pada 2001 National Water Management Plan (NWMP) yang mencakup juga manajemen bencana terkait dengan air seperti banjir, erosi, dan kekeringan. Dan salah satu Comprehensif Disaster Management Plan (CDMP) juga disiapkan. Dalam CDMP digambarkan tanggung jawab lembaga berbeda yang terlibat dalam aktivitas mitigasi dalam kesiapan sebelum bencana, penyelamatan, dan evakuasi saat terjadi bencana, bantuan dan rehabilitasi sesudah terjadi bencana

3. Cara Jepang Menangani Banjir

Dalam kurun waktu 1945 -1959 bencana banjir, taifun, gempabumi, tsunami telah banyak menelan ribuan korban jiwa di Jepang. Tahun 2000 saat Banjir Tokai jumlah korban meninggal 100 jiwa dengan kerugian 2 triliun yen. Lazimnya frekuensi banjir terjadi 5 kali dalam kurun waktu 1990 -1999. Berkurangnya lahan hutan, sungai dan danau serta daerah resapan air dikarenakan dampak luas area limpahan banjir. Terlebih lagi jumlah presipitasi curah hujan di Jepang tergolong tinggi 1.714 mm/tahun dibanding Australia, Amerika Serikat, Saudi Arabia, Perancis, Inggris dan negara-negara dunia lainnya pada musim penghujan dan badai.

Banjir di wilayah Jepang juga dipengaruhi oleh jumlah dan panjang sungai terlebih lagi bila dikaitkan dengan lama genangan dan kecepatan limpasan banjir per unit catchment area. Kebanyakan kota-kota di Jepang berada di bawah level ketinggian sungai. Apalagi dibangunnya subway akan menumbuhkan underground city dan pusat-pusat keramaian sampai beberapa tingkat ke bagian bawah tanah. Hal ini sangat rawan terhadap bahaya banjir merusak. Problematika urbanisasi yang semakin besar kian tahunnya menyerobot lahan yang seharusnya diperuntukkan daerah bebas untuk cacthment area. Hal ini betul-betul memperparah keadaan Tokyo. Di sekitar Sungai Tsurumi tahun 1958 urbanisasi masih berkisar 10%. Kenaikannya tahun 1997 sudah sebesar 84,3 % dengan populasi 1.820.000 meliputi 196 km2. Dapat dibayangkan banyaknya korban jiwa berjatuhan karena terendam banjir seandainya sungai itu meluap.

Penanganan manajemen bencana di Jepang berada di bawah Kementrian Tanah, Infrastruktur dan Transportasi (MLIT / Ministry of Land, Infrastructure, Information and Technology) yang membawahi masalah banjir (masalah pengairan), endapan sediment, letusan gunung berapi, gempa bumi, informasi teknologi (IT) untuk pengurangan dampak bencana alam di Jepang. Infrastuktur yang ditangani meliputi sungai, jalan, pelabuhan laut dan udara, sistem pembuangan limbah, dan pertamanan. Mirip halnya dengan yang telah ada di Indonesia, bagian-bagian dasar penanganan bencana di Indonesia terdiri dari aspek regulasi, sistem manajemen, rencana, persiapan, tanggap darurat dan recovery. Yang menarik dalam hal recovery, Jepang sudah menganggarkannya dari pajak yang dipungut rutin perbulannya untuk kemudian bisa dinikmati korban dalam bentuk dana kompensasi bencana, asuransi, pengurangan atau pembebasan pajak.

Selain itu ciri khas Jepang sebagai negara berteknologi tinggi juga cukup menonjol perannya dalam penanganan bencana ini. Jaringan komunikasi radio pusat dan daerah terhubung secara organisatoris – tidak berdiri sendiri-sendiri. NTT (Nippon Telegraph and Telephone) dan NHK (Nippon Broadcasting Corporation) menjadi media pelayanan masyarakat cuma-cuma, mengesampingkan keuntungan dan popularitas untuk sementara waktu. Sehinga ketika banjir atau gempa bumi terjadi, masyarakat bisa menikmati telepon gratis untuk menghubungi keluarganya.

Info banjir meliputi : waktu normal dengan peta bencana sebagai tahap persiapan, dan waktu darurat dengan status siaga dan perkiraan turun hujan, kenaikan ketinggian banjir, peringatan dan evakuasi. Selanjutnya seluruh komponen teknis tanggap darurat beraksi terdiri dari kendaraan evakuasi, ambulan, helicopter, dan tim-tim penolong (rescue).

Penanganan integrasi Flood Control meliputi : 1. Perbaikan Sungai Perbaikan saluran irigasi (tanggul/embankment, pengerukan dasar sungai/dredging), kontruksi ketahanan daerah cekungan dan saluran limpahan banjir. 2. Penanggulangan kerusakan. Pelaksanaanya dilakukan di tiga area : a. Area penahan (retention) : perbaikan kontrol distrik urbanisasi, konservasi alam, promosi gerakan penghijauan, kontruksi daerah cekungan, instalasi trotoar yang mampu menyerap limpasan air, dan mesin penyedot air. b. Area pemelihara (detention) : pelestarian zona bebas urban, pengawasan lahan, promosi lahan hijau. c. Area rendah (rawan banjir): pembuatan fasilitas drainase, pembuatan fasilitas cadangan bahan pangan, sandang kebutuhan darurat bencana, mendorong penggunaan bangunan tahan air (floodproof). 3. Penanggulangan (mitigasi) bencana. Terdiri dari : peresmian sistem peringatan dan evakuasi bencana, perluasan sistem flood-fighting yang telah ada, mendorong penggunaan bangunan floodproof, penyebaran informasi sesama warga setempat sekaligus membentuk komunitas bersama warga sadar bencana banjir, pengendalian lingkungan (pembuangan sampah) agar tidak mengganggu jalannya saluran air, dan publikasi area peta historis inundasi (kenaikan air mencapai daratan).

Kata kunci dari program ini adalah tanggung jawab, keputusan, dan aksi nyata saat bencana terjadi. Kesemuanya ditanggung bersama oleh pemerintah pusat (nation), provinsi/daerah (prefecture), kota (municipality) dan warga (resident). Tapi pelaksana dari flood fighting ini terletak pada pemerintah kota beserta masyarakatnya.

Show More

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button