LingkunganUncategorized

Apa Kabar Kasus Kebakaran Hutan? atau What is Forest Fire Case?

Kebakaran hutan adalah peristiwa timbulnya api dalam jumlah yang besar di alam liar, dan memusnakan pohon, habitat hewan, bahkan rumah dan lahan pertanian disekitarnya. Hutan merupakan paru-paru dunia. Hutan berperan penting dalam kehidupan manusia baik sebagai sumber utama penghasil oksigen, pengatur keseimbangan ekosistem maupun habitat bagi banyak makhluk hidup. Apabila terjadi kebakaran hutan maka akan membawa dampak negative bagi manusia, ekosistem maupun bagi lingkungan. Akibat kebakaran hutan antara lain hilangnya habitat bagi makhluk hidup, rusaknya ekosistem lingkungan, berkurangnya pasokan oksigen di alam, tercemarnya udara, terganggunya sistem navigasi pesawat serta menyebabkan terjadinya pemanasan global karena lepasnya zat CO2 ke atmosfer hasil pembakaran.

Indonesia memiliki lebih dari 20 juta hektare lahan gambut, bagian terbesar dari total lahan gambut Asia Tenggara seluas 27,1 juta hektare. Lahan gambut tropis di kawasan ASEAN diperkirakan mewakili 60% dari total penyimpanan karbon lahan gambut tropis.

Laporan Wetland Internasional menyebutkan, sekitar 660 juta ton karbon setiap tahunnya terlepas dari lahan gambut yang mengering dan teroksidasi. Pengeringan dan perusakan lahan gambut juga terkait dengan kebakaran hutan yang menyebabkan pelepasan karbondioksida sebesar 1400 Mt/tahun lebih dari semestinya. Lebih dari 90% emisi karbondioksida tersebut berasal dari Indonesia. Pengerusakan hutan menyumbang 20% dari emisi GRK setiap tahun. Akibatnya, Indonesia mendapat tempat sebagai penghasil karbondioksida terbesar ke-3 di dunia

Kebakaran hutan memiliki kaitan erat dengan kegiatan pembalakan (logging), baik yang dilakukan oleh perusahaan konsesi, maupun pembalak liar; pengambilan ikan, perambahan bagi wilayah pertanian, dan penyebaran kebakaran akibat pertanian dari batas wilayah hutan. Api adalah perangkat yang sangat berguna, baik bagi pertanian maupun sebagai alat bantu kegiatan pembalakan dan perburuan di hutan rawa yang tidak ramah. Saat ini, kedua pihak tersebut tidak memiliki metode lain dalam melakukan pembukaan lahan untuk dikembangkan kepada masyarakat. Pengelolaan rawa yang salah, terutama dalam pembuatan kanal, berperan penting dalam memicu insiden kebakaran hutan.
Pihak pengelola hutan dan LSM menyatakan masalah kebakaran hutan mengalami peningkatan sejalan dengan otonomi daerah dan konflik alokasi lahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kemampuan kelembagaan dan komitmen untuk memerangi kebakaran hutan sangat rendah dan tidak ada panduan standar yang jelas untuk digunakan. Kadang–kadang, hutan yang terbakar diserahkan begitu saja untuk pengembangan HTI (Hutan Tanaman Industri). Penyebab kebakaran hutan antara lain disebabkan
• Konflik antara perusahaan dan penduduk lokal pemilik lahan. Perusahaan yang ingin mengambil alih lahan dari penduduk lokal biasanya melakukan pembakaran terhadap lahan yang disengketakan. Pembakaran lahan dapat berakibat lahan menjadi terdegradasi sehingga nilai lahan berkurang. Dengan cara tersebut, perusahaan akan lebih mudah merebut lahan dari penduduk yang memiliki lahan.
• Aksi protes penduduk lokal. Penduduk lokal yang merasa lahannya direbut juga sering melakukan pembakaran lahan sebagai bentuk protes karena perusahaan perkebunan merebut lahan milik mereka.
• Kehidupan ekonomi penduduk lokal. Masyarakat lokal yang ingin membuka lahan dan hanya memiliki sedikit biaya biasanya melakukan cara instan untuk membuka lahan. Mereka membakar hutan untuk membuka lahan baru. Cara tersebut dianggap lebih mudah dan murah meski akibat yang ditimbulkan sangat berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan
• Lemahnya penegakan hukum. Meskipun aturan mengenai pembakaran hutan jelas-jelas dilarang, namun karena hukum yang diberikan bagi yang melanggar masih sangat lemah, akibatnya banyak juga oknum yang melanggar aturan dan membakar hutan secara besar-besaran untuk membuka lahan. Tidak ada hukuman berat yang dikenakan kepada pelanggar hukum zero-burning.
• Kebijakan pemerintah yang mengijinkan konversi skala besar, memberikan ijin pemanfaatan bagi perusahaan, permintaan dunia akan minyak sawit, dan kapasitas industri pulp dan kayu lapis yang berlebihan. Pemerintah daerah memusatkan perhatian dan kegiatan pada eksploitasi sumberdaya hutan secara cepat, tanpa mempedulikan kehidupan masyarakat setempat dan lingkungan. Selain itu, pelarangan pembakaran dapat diabaikan dengan ijin khusus dari pihak yang berwenang.

Tahun 2015 adalah tahun terparah kebakaran hutan melanda Indonesia sejak era demokrasi. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengungkapkan luas kebakaran lahan dan hutan mencapai sekitar 1,7 juta hectare, antara lain di Kalimantan 770.000 hektar, 35,9% lahan gambut. Di Sumatera 593.000 hektar terbakar dengan 45,5% lahan gambut dan Sumatera Selatan 221.704 hektar. Kabut asap pekat dari kebakaran lahan dan hutan ini telah menyebabkan puluhan ribu warga menderita sakit, hampir 30 juta jiwa terdampak.

Walhi Nasional menyatakan berbagai perusahaan besar terlibat membakar hutan dan lahan, di Kalteng ada 3 anak perusahaan Sinar Mas, Wilmar 14. Di Riau, anak usaha Asia Pulp and Paper (APP) enam, Sinar Mas (6), APRIL (6), Simederby (1), First Resources (1) dan Provident (1). Di Sumsel (8) Sinar Mas dan 11 Wilmar, (4) Sampoerna, (3) PTPN, (1) Simederby, (1) Cargil dan (3) Marubeni. Kalbar Sinar Mas (6), RGM/ APRIL (6). Di Jambi Sinar Mas (2) dan Wilmar (2). Berdasarkan data LAPAN periode Januari-September 2015 ada 16.334 titik api. Kebakaran hutan dan lahan menyebabkan warga terserang ISPA. Di Jambi ada 20.471 orang, Kalteng 15.138, Sumsel 28.000, dan Kalbar 10.010 orang.

Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan (KLHK) menggugat PT Bumi Mekar Hijau (BMH) pada bulan Oktober 2015. Gugatan perdata pemerintah pada PT BMH disebabkan oleh ulah perusahaan perkebunan anak perusahaan Sinar Mas yang terindikasi melakukan pembakaran hutan. Pembakaran hutan yg dilakukan oleh PT BMH inilah yg diduga menjadi penyumbang bencana kabut asap di wilayah Sumatera Selatan, Jambi, Riau dan Negara tetangga.

Dalam tuntutan pemerintah, saksi ahli mengemukakan kebakaran hutan di lahan gambut BMH seluas 20.000 hektare butuh budget setidaknya Rupiah 7,9 triliun buat bisa dipulihkan.

Kabut asap yang dihasilkan dari kebakaran hutan dan lahan menimbulkan dampak negatif, yakni tercemarnya lingkungan, terganggunya kesehatan manusia dan melemahkan roda perekonomian bangsa. Berikut dampak negative dari kebakaran hutan:
1. Partikel halus yang dihasilkan dari kebakaran hutan mudah terbawa oleh angin dan menyebabkan meluasnya pencemaran akibat dari kebakaran tersebut. Kandungan asap dan partikel halus berbahaya yang terbang lebih tinggi bersama udara jika mencapai “sarang” awan penghujan, maka akan mampu mengotori embun atau air hujan yang dihasilkan oleh gumpalan awan penghujan. Air hujan yang tercemar oleh partikel asap juga berbahaya jika dikonsumsi secara langsung oleh manusia mengingat kandungan zat asamnya yang sangat tinggi dan dapat mendatangkan kanker pada tubuh manusia.
2. Kebakaran hutan dan lahan juga akan menghasilkan partikel berbahaya dengan ukuran sedang. Partikel berbahaya berukuran sedang, dapat menyebabkan tertutupnya ruang udara hingga membatasi jarak pandang manusia. Akibat dari partikel sedang ini, berbagai aktifitas lalu lintas baik darat, udara maupun laut dapat terganggu. Kemudian, asap abu juga akan menutup permukaan dedaunan pada pepohonan hingga menyebabkan kerusakan fauna.
3. Partikel dengan ukuran yang besar, jarak penyebarannya cukup pendek karena zat yang terkandung cukup berat sehingga tidak mampu terhembus oleh udara yang bertiup normal. Kendati demikian, partikel ketiga ini juga dapat mendatangkan kerugian di segala aspek, baik lingkungan dan kesehatan manusia.
4. Erosi; Hutan dengan tanamannya berfungsi sebagai penahan erosi. Ketika tanaman musnah akibat kebakaran hutan akan menyisakan lahan hutan yang mudah terkena erosi baik oleh air hujan bahkan angin sekalipun.
5. Punahnya keanekaragaman hayati. Nilai keanekaragaman hayati, tidak dapat dinilai dengan materi apa pun.
6. Terganggunya kesehatan; Kebakaran hutan berakibat pada pencemaran udara oleh debu, gas SOx, NOx, COx, dan lain-lain dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia, antara lain infeksi saluran pernafasan, sesak nafas, iritasi kulit, iritasi mata, dan lain-lain.
7. Menurut perkiraan Bank Dunia, kebakaran hutan hebat yang melanda Sumatera dan Kalimantan pertengahan tahun 2015 menyebabkan kerugian sekitar 16 milyar US Dollar, lebih dari dua kali lipat dana yang dipakai buat membangun kembali Provinsi Aceh pasca Tsunami 2004.
8. Hasil studi dari Universitas Harvard dan Universitas Columbia memperkirakan 100.300 kasus kematian dini akibat krisis kebakaran yang menghancurkan hutan Indonesia tahun 2015, dan 91.600 diantaranya terjadi di Indonesia. Perkiraan ini sangat jauh di atas pernyataan resmi pemerintah Indonesia tahun lalu yang menyebutkan 19 orang meninggal karena asap.

Kabut asap juga sampai ke Negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Pemerintah Singapura melalui Dewan Lingkungan (SEC) telah mencabut sertifikasi hijau milik Universal Sovereign Trading, yang merupakan distributor eksklusif produk APP (anak perusahaan Sinar Mas) di Singapura. SEC juga meminta 16 jaringan supermarket di Singapura berhenti menjual produk APP dan empat perusahaan lain hingga selesainya penyelidikan soal penyebab kebakaran di wilayah konsesi masing-masing.

Namun sangat disayangkan, Majelis hakim yang dipimpin Parlan Nababan menolak gugatan korporasi terhadap BMH dalam kasus pembakaran hutan dan lahan. Hakim menyebut penggugat tak mampu membuktikan adanya tindakan melawan hukum dan unsur kerugian. Bahkan Hakim Parlas Nababan mengemukakan bahwa “Membakar hutan itu tak merusak lingkungan hidup, lantaran hutan masihlah mampu ditanami lagi”. Padahal Pasal 49 Undang-Undang No. 41 Thn 1999 mengenai Kehutanan dengan tegas mengemukakan “pemegang hak atau izin bertanggungjawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya.”

Pemerintah berencana untuk mengajukan banding terhadap keputusan hakim di pengadilan negeri Palembang. Namun kabarnya tidak kedengaran sampai sekarang. Pemerintah tidak serius untuk mengatasi kebakaran hutan dan memberikan efek jera kepada pelakunya. Padahal nilai kerugian material yang mencapai ratusan triliunan, biaya pemulihan kesehatan masyarakat dan kehilangan keanekaragaman hayati yang tidak ternilai harganya hilang demi menutupi keserakahan pemodal-pemodal tersebut. Dan bukan hanya masalah kebakaran hutan, KLHK ketika berhadapan dengan kasus lingkungan dimana berhubungan dengan pemodal besar, menjadi ciut seperti tidak bernyali, misalnya kasus reklamasi, kasus semen Rembang, kasus Freeport, Newmon dan berbagai kasus besar lainnya.

Perlu reformasi kepemimpinan di tubuh KLHK agar dapat berdaya ketika berhadapan dengan berbagai kerusakan lingkungan. Jangan sampai daya dukung dan daya tampung sudah melampaui batas baru kemudian dilakukan tindakan. Biaya yang diperlukan lebih besar, kemiskinan penduduk lokal semakin berlipat, keanekaragaman punah, dan kita berpotensi kehilangan generasi yang kuat karena dampak negative kerusakan lingkungan menyebabkan kesehatan memburuk.

Kasus kebakaran hutan di Indonesia perlu menjadi perhatian bersama, mengingat sejumlah negara lain yang sebelumnya juga rawan kebakaran hutan dan lahan seperti Malaysia, Thailand, bahkan sejumlah negara di Eropa dan Afrika, terbukti telah mampu meminimalisir kebakaran bencana. Pemerintah perlu mewaspadai modus baru kebakaran hutan. Modus pembakaran hutan dan lahan oleh perusahaanbukan hanya land clearing atau penyiapan lahan namun juga mengklaim asuransi. Di beberapa perusahaan, kebakaran lahan ada kaitan dengan kepentingan asuransi. Ketika kebun dibuka dalam hitungan ekonomi tak produktif, maka dihanguskan agar mendapatkan asuransi, uang membuka kebun baru di wilayah lain.

Show More

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button