Banjir yang melanda berbagai daerah di tanah air, dan siklus banjir lima tahunan di Jakarta, hendaknya semakin meningkatkan kewaspadaan kita. Pengalaman banjir masa lalu dan kondisi obyektif Jakarta menjadi pelajaran bagi kita bahwa upaya pengendalian banjir tidak hanya menjadi tanggungjawab pemerintah namun juga pemerintah pusat, swasta dan masyarakat. Apabila seluruh pihak bahu membahu dan bekerjasama, Insya Allah Jakarta bisa terbebas dari bahaya banjir.
Banjir melanda berbagai daerah di tanah air seperti wilayah Lahat, Sumsel; sembilan desa di Nganjuk, Jawa Timur; Ratusan rumah warga di Desa Wonoasri, Kabupaten Jember, Jawa Timur; Dusun Ngesong, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah; Desa Bolapapu, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah; banjir lahar dingin di Desa Tlogolele, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah; sejumlah kecamatan di pantai utara Kab Subang,Jawa Barat dan berbagai daerah lainnya
Tidak hanya di tanah air di mancanegara banjir melanda kawasan Kamboja, dan Thailand. Di Kamboja, cuaca buruk dengan curah hujan tinggi membuat 18 kota dan provinsi terlanda banjir sejak Agustus 2011. Setidaknya, 250 orang dilaporkan tewas dalam bencana tersebut. Angka kerugian mencapai 521 juta dollar AS. Di Thailand, banjir paling parah dalam lebih dari 50 tahun telah merendam 64 dari 77 provinsi. Sebanyak 594 orang dikonfirmasi tewas dan dua orang lainnya hilang dalam banjir yang telah menggenangi bagian hulu Thailand sekitar empat bulan
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memperkirakan dalam waktu dekat Ibu Kota akan mendapat curahan hujan lebih besar dari biasanya. Untuk itu warga diimbau bersiap-siap. Menurut catatan BNPB, ada 62 titik rawan banjir di Jakarta. BNPB memperkirakan bisa terjadi banjir besar di Jakarta di awal 2012 seperti yang pernah melanda Ibu Kota pada 2002 dan 2007. Untuk mengantisipasi siklus lima tahunan, BNPB bersama pemerintah Jakarta sudah mempersiapkan 26.000 lebih aparat, 93 ton beras, 2.000 dus mie instan, obat-obatan hingga perahu karet.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperkirakan daerah yang berpotensi tinggi dilanda banjir, yaitu: Jakarta Barat (Cengkareng, Grogol Petamburan, Kalideres, Kebon Jeruk, Taman Sari), Jakarta Pusat (Cempaka Putih, Gambir, Kemayoran, Menteng, Sawah Besar, Senen, Tanah Abang), Jakarta Selatan (Cilandak, Kebayoran Baru, Mampang Prapatan, Pancoran, Pasar Minggu, Pesanggrahan, Tebet, Jakarta Timur (Cakung, Cipayung, Ciracas, Jatinegara, Kramat Jati, Makasar, Pulogadung), Jakarta Utara (Cilincing, Kelapa Gading, Koja, Pademangan, Penjaringan, Tanjung Priok)
Sesungguhnya banjir di ibu kota bukanlah masalah baru. Pemerintah kolonial Belanda pun sudah sedari awal dipusingkan dengan banjir dan tata kelola air Jakarta. Hanya berselang dua tahun setelah Batavia dibangun lengkap dengan sistem kanalnya, tahun 1621 kota ini mengalami banjir. Tercatat banjir besar terjadi antara lain pada tahun 1654, 1872, 1909 dan 1918.
Banjir besar terjadi lagi pada tahun 1996, 2002 dan Februari 2007. Banjir 2002 Menurut mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso menggenangi 42 kecamatan di Jakarta (100 persen) dengan 168 kelurahan (63,4 persen). Luas genangan mencapai 16.041 hektar atau 24,25 persen dari luas DKI Jakarta dengan ketinggian air tertinggi lima meter. Korban banjir sebanyak 381.266 jiwa dan menelan korban jiwa sebanyak 21 orang (Kompas, 5 Februari 2002).
Banjir besar pada tahun 2007 telah merendam hampir 70% wilayah DKI Jakarta, dan sebagian wilayah Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kabupaten dan Kota Tanggerang serta Kota Bekasi. Banjir 2007 telah menyebabkan 55 orang menjadi korban meninggal dunia, warga yang mengungsi mencapai 320.000 orang, dengan nilai kerugian sebesar 8,8 trilyun rupiah, terdiri dari 5,2 trilyun rupiah kerusakan dan kerugian langsung dan 3,6 trilyun rupiah merupakan kerugian tidak langsung.
Banjir besar yang melanda Jakarta tidak terlepas dari kondisi obyektif yaitu 40 % luas Jakarta sekitar 24.000 Ha adalah daratan rendah dibawah muka laut pasang 1 s/d 1.5 m. Dari 40 % tersebut yang sudah dilayani dengan sistem Polder baru 11.500 Ha. Jakarta dahulunya disebut sebagai kota air. Hal ini bisa dilihat dari aspek eco-geografisnya. Jakarta terletak di bawah Bopunjur (Bogor Puncak dan Cianjur) – sebuah kawasan yang mempunyai curah hujan tinggi dan menjadi asal muasal berbagai sungai yang mengalir ke wilayah Jakarta. Karena itu, secara alami, di zaman dulu, Jakarta terkenal sebagai wilayah yang mempunyai banyak situ atau rawa. Hal itu terlihat dari banyaknya nama kelurahan dan kecamatan yang berawal dengan kata “rawa”. Jumlahnya ratusan, antara lain Rawasari, Rawamangun, Rawabokor, Rawabuaya, dan Rawajati. Nama-nama tersebut jelas menunjukkan bagaimana asal dari tempat tersebut, yaitu rawa.
Jumlah penduduk Jakarta saat ini diperkirakan mencapai sekitar 8,5 juta orang, dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,06 persen. Data statistik menunjukkan bahwa rata-rata kepadatan penduduk Jakarta pada tahun 2009 adalah 13.000 orang/km2, sementara kepadatan di daerah Jakarta Pusat jauh lebih tinggi dan mencapai 19.600 orang/km2
Jumlah penduduk Jakarta yang meningkat pada jam-jam kantor mau tidak mau juga memberikan tekanan yang tinggi pada infrastruktur kota yang terbilang tidak luas bila dibandingkan dengan kota-kota besar lainnya di dunia. Dari dua puluh lima (25) kota di dunia yang tertinggi jumlah penduduknya, Jakarta menduduki urutan kesepuluh (10) terpadat di dunia. Tekanan pertambahan penduduk dalam hampir empat dasawarsa terakhir telah memperluas wilayah Jakarta dari sekitar 300 km2 menjadi 700 km2
Arus urbanisasi ke Jakarta telah menciptakan lokasi-lokasi permukiman kumuh yang hampir semuanya ilegal. Permukiman semacam itu banyak dibangun di bantaran sungai sehingga menimbulkan penyempitan sungai-sungai di Jakarta. Bila hujan deras turun di hulu ataupun di Jakarta sendiri, volume air yang meningkat tinggi tidak dapat tertampung oleh sungai-sungai yang telah mengalami penyempitan dan pengaliran air ke laut terhambat sehingga banjir pun terjadi. Perilaku warga yang sering membuang sampah ke sungai juga memicu pendangkalan sungai yang pada gilirannya dapat mengakibatkan banjir.
Proporsi luas lahan terbangun di DKI melonjak tajam sejak 20 tahun terakhir. Jakarta Selatan yang dulu merupakan daerah resapan air, misalnya, kini menjadi wilayah permukiman yang padat dengan proporsi luas lahan lebih dari 70 persen. Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) melalui World Development Report (1984) menyatakan bahwa prosentase ruang terbuka hijau yang harus ada di kota adalah 50% dari luas kota atau kalau kondisi sudah sangat kritis minimal 15% dari luas kota. Sedangkan RTH di Jakarta baru mencapai 9,8% dari total luas Jakarta.
Ada 13 sungai di Jakarta yaitu Kali Mookervart, Kali Angke, Kali Pesanggrahan, Kali Grogol, Kali Krukut, Kali Baru/Pasar Minggu, Kali Ciliwung, Kali Baru Timur, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Jatikramat dan Kali Cakung. Tiga belas sungai utama mengalami penyempitan sehingga kemampuannya mengalirkan air minim. Kali Ciliwung, mulai Kalibata hingga Bukit Duri, kemampuan mengalirkan air hanya 17 persen. Kali Krukut 37 persen, dan Kali Pesanggrahan 21 persen. Padahal aliran permukaan dari bagian tengah dan hulu sungai yang masuk ke Jakarta meningkat sekitar 50 persen dalam 30 tahun terakhir.
Berdasarkan pengalaman masa lalu dan kondisi obyektif diatas, maka tidaklah mungkin pemerintah provinsi DKI Jakarta dapat menangani banjir. Perlu peran dan kerjasama dengan pemerintah pusat, swasta dan masyarakat.
Pemerintah daerah DKI Jakarta telah berupaya mengurangi banjir hingga 40 persen pada tahun 2011. Upaya itu antara lain dicapai melalui program pengerukan 13 sungai dan 56 saluran serta Banjir Kanal Timur dan Banjir Kanal Barat. Bersamaan dengan itu dilakukan juga pembersihan sampah serta pembangunan saringan sampah di seluruh wilayah DKI Jakarta. Selain itu pembangunan, perbaikan dan pengurasan saluran-saluran air juga dilanjutkan. Pembangunan dan peninggian tanggul di bagian utara Jakarta juga diteruskan.
Strategi pengendalian banjir Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang lain adalah pemasangan pompa-pompa air terutama di Jakarta bagian utara yang lokasinya berupa dataran rendah dengan ketinggian di bawah permukaan laut.
Pemprov DKI juga telah melengkapi sarana dan prasarana pengendalian banjir. Jumlah pompa air mencapai 303 unit, jumlah waduk pengendali banjir mencapai 19 yang tersebar di beberapa wilayah yang mencakup daerah seluas 196,26 hektar, serta 26 situ yang mencakup daerah seluas 121,4 hektar. Personel yang telah disiapkan sejumlah 931 orang yang siap turun kapan saja bila diperlukan dan juga 51 posko piket banjir.
Walau bagaimanapun, pengendalian banjir tetap tidak dapat dilakukan sendiri oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tetapi membutuhkan Pemerintah Pusat dan juga Provinsi lainnya untuk lebih konsisten dalam mengembangkan sarana pengendali banjir. Tiga belas sungai yang mengalir ke DKI Jakarta, hulunya mulai di daerah puncak Bogor, tengahnya di wilayah Cibinong, dan juga Depok. Di sana terjadi penggundulan hutan, pohon-pohonan hilang diganti dengan villa dan sebagainya. Aturan yang ada membatasi pemda DKI Jakarta melakukan pembiayaan di luar daerahnya. Padahal daerah puncak, bogor dan depok di bawah Pemda Jawa Barat dengan anggaran yang tersedia relatif sedikit. Upaya antisipasi banjir secara menyeluruh di Jakarta membutuhkan kerja sama yang konsisten dari pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Pihak swasta seperti developer perumahan dapat berperan aktif mencegah banjir dengan menerapkan prinsip-prinsip perumahan berkelanjutan. Prinsip-prinsip tersebut antara lain membangun sumur resapan, lubang biopori, menyisakan 30% perumahan untuk ruang terbuka hijau, konsisten menerapkan rasio 70:30 antara luas terbangun dengan luas terbiarkan, membangun green roof dan melakukan penghijauan. Peran lain pihak swasta adalah menghindari pembangunan yang dapat mengkonversi situ, danau, rawa dan hutan bakau, yang berperan penting sebagai penyimpan air dan mengurangi volume banjir.
Peningkatan peran masyarakat dalam pengendalian banjir seperti pembentukan forum peduli banjir sebagai wadah bagi masyarakat untuk berperan dalam pengendalian banjir; Mentaati peraturan tentang pelestarian sumberdaya air antara lain tidak mengubah aliran sungai; tidak mendirikan, mengubah atau membongkar bangunan-bangunan di dalam atau melintas sungai; tidak membuang benda-benda dan atau cair ataupun yang berupa limbah ke dalam maupun di sekitar sungai yang diperkirakan atau patut diduga akan mengganggu aliran; tidak melakukan pengerukan atau penggalian bahan galian golongan C dan atau bahan lainnya; Menanam lebih banyak pohon besar; Menjaga kebersihan saluran air dan limbah; Mendukung upaya pembuatan kanal atau saluran dan bangunan pengendali banjir.
Apabila pemerintah daerah, pemerintah pusat, swasta dan masyarakat berperan aktif sesuai dengan perannya diatas, insya Allah kita bisa berharap Jakarta terbebas dari bahaya banjir.