LainnyaSosial

Manusia sebagai Khalifah Fil Ardhi

Alam semesta termasuk bumi dan seisinya adalah ciptaan Allah SWT. Penciptaannya dalam keseimbangan, proporsional dan terukur atau mempunyai ukuran-ukuran, baik secara kualitatif maupun kuantitatif (QS:Ar-Ra’d: 8; Al-Qomar: 49 dan Al-Hijr:19). Alam merupakan sebuah entitas atau realitas (empirik) yang tidak berdiri sendiri, akan tetapi berhubungan dengan manusia dan dengan realitas yang lain Yang Ghaib dan supraempirik. Alam sekaligus merupakan representasi atau manifestasi dari Yang Maha Menciptakan alam dan Yang Maha Kuasa, yang melampauinya dan melingkupinya yang sekaligus merupakan sumber keberadaan alam itu sendiri. Realitas alam ini tidak diciptakan dengan ketidak-sengajaan (kebetulan atau main-main atau bathil) sebagaimana pandangan beberapa saintis barat, akan tetapi dengan nilai dan tujuan tertentu dan dengan haq atau benar (Q.S: Al-An’am: 73; Shaad:27; Al Dukhaan: 38-39, Ali Imran:191-192).

Dalam konteks hubungan antara manusia dan alam, Islam menolak asas paham antroposentrisme, yang menganggap bahwa manusia merupakan pusat sekaligus “penguasa” alam. Manusia adalah bagian dari alam, bukan diatas atau terpisah dari alam. Manusia bukan tuan atau penguasa alam akan tetapi mempunyai status yang sama sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Dalam berinteraksi dengan alam, manusia harus mempertimbangkan hak dan peran makhluk yang lain dan tidak terbatas pada makhluk hidup semata, akan tetapi seluruh komponen alam. Keberlanjutan kehidupan manusia, juga dipengaruhi dan tergantung pada alam atau ekosistimnya. Demikian pula kehidupan makhluk yang lain dipengaruhi oleh manusia dan juga ekosistemnya.

Asas keseimbangan, kesatuan ekosistem serta keterbatasan alam (daya dukung dan faktor pembatas) masih digunakan oleh para ilmuan dan praktisi lingkungan untuk menyusun kebijakan dalam pengelolaan lingkungan. Asas tersebut juga telah digunakan sebagai landasan moral (etika) perlindungan alam dan lingkungan bagi aktifitas manusia dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam. Berikut ini akan dikemukakan secara singkat beberapa asas etika lingkungan yang dimaksud.

Asas pertama. Lingkungan alam merupakan lingkungan yang bersifat holistik dan saling mempengaruhi. Artinya segala sesuatu yang berada dibumi ini saling mempengaruhi secara langsung maupun tidak. Secara moral, asas ini menuntun setiap individu khususnya manusia untuk mempertimbangkan setiap keputusan dan tindakan yang akan dilakukannya terhadap lingkungan alam. Asas ini sejalan dengan paham biosentrisme dan ekosentrisme tentang hubungan antara manusia dan alam yang tidak bersifat terpisah, akan tetapi manusia merupakan bagian dari alam, antara keduanya saling terkait.

Asas kedua. Segala sumber kehidupan dibumi termasuk keanekaragaman hayati merupakan kekayaan alam yang merupakan anugerah Tuhan yang tak ternilai harganya. Keanekaragaman hayati ini harus dipelihara karena merupakan sumber kehidupan dan keberlanjutan eksistensi semua makhluk hidup termasuk manusia. Menjaga keberlanjutan kehidupan dan keaneka ragaman hayati pada hakekatnya merupakan upaya untuk mempertahankan keberlangsungan kehidupan di muka bumi termasuk kehidupan manusia, sekaligus merupakan tugas atau kewajiban manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling unggul dalam ciptaan maupun kemampuan nalarnya. Merusak sumber kehidupan atau memanfaatkan sumber kehidupan dengan melampaui batas merupakan tindakan yang tidak dibenarkan karena akan berakibat pada terganggunya keseimbangan ekosistem dan rusaknya alam.

Asas ketiga. Terjadi siklus dan penyebaran sumberdaya alam secara terus menerus melalui suatu mata rantai ekosistem atau rantai makanan, sehingga saling terpengaruh antara satu komponen dengan komponen lainnya. Limbah suatu komponen ekosistim (spesies) bisa menjadi masukan atau sumber makanan bagi komponen ekosistem (spesies) lainnya. Misalnya mikroba tanah. Mikroorganisme atau mikroba adalah makhluk yang berukuran sangat kecil. Mikroba dapat mengurai limbah organik seperti daun, buah, dan sayuran busuk. Mikroba memperoleh energy dengan cara menguraikan sisa-sisa makhluk hidup yang telah mati.

Asas keempat. Adanya faktor pembatas (kendala) dalam kehidupan di alam. Artinya, faktor lingkungan tertentu bisa menjadi pembatas atau kendala bagi berkembangnya atau berfungsinya kehidupan komponen lingkungan lainnya. Demikian pula daya dukung lingkungan mempunyai keterbatasan baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Ekosistem dan komponennya mempunyai keterbatasan untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan baru. Apabila faktor pembatas dilewati misalnya dengan melakukan eksploitasi atau pemanfaatan alam yang melampaui kapasitas dan daya dukung lingkungan, maka akan mengakibatkan terjadinya gangguan keseimbangan ekosistem di alam dan berdampak terjadinya degradasi.

Asas kelima. Setiap individu atau spesies mempunyai kemampuan sekaligus faktor pembatas untuk bisa mempertahankan dan melestarikan spesiesnya. Misalnya perlindungan terhadap salah satu komponen atau spesies misalnya ular di sawah semakin lama semakin sedikit jumlahnya sehingga menyebabkan populasi tikus semakin banyak. Akibatnya mengganggu pertumbuhan padi di sawah.

1 2 3 4Next page
Show More

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button