Sosial

Urbanisasi

“Siapa suruh datang Jakarta”, sebuah penggalan bait lantunan lagu lawas yang masih terasa realitis terhadap kritik sosial bagi warga pendatang baru yang “menyerbu” Jakarta untuk mencoba mengubah nasib tanpa dibekali kompetensi pribadi yang dimilikinya.

Pengertian urbanisasi itu sendiri adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota. Urbanisasi merupakan masalah yang cukup serius bagi kita semua. Persebaran penduduk yang tidak merata antara desa dengan kota akan menimbulkan berbagai permasalahan kehidupan sosial kemasyarakatan.

Bila ditinjau dari perspektif ilmu kependudukan, definisi urbanisasi berarti persentase penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. Perpindahan manusia dari desa ke kota hanya salah satu penyebab urbanisasi. perpindahan itu sendiri dikategorikan dua jenis ,yaitu migrasi penduduk dan mobilitas penduduk, bedanya migrasi penduduk lebih bermakna perpindahan penduduk dari desa ke kota yang bertujuan untuk tinggal menetap di kota. Sedangkan mobilitas penduduk berarti perpindahan penduduk yang hanya bersifat sementara atau tidak menetap.

Di bawah ini adalah beberapa atau sebagian contoh yang pada dasarnya dapat menggerakkan seseorang untuk melakukan urbanisasi perpindahan dari pedesaaan ke perkotaan.

A. Faktor Penarik Terjadinya Urbanisasi

1. Kehidupan kota yang lebih modern

2. Sarana dan prasarana kota lebih lengkap

3. Banyak lapangan pekerjaan di kota

4. Pendidikan sekolah dan perguruan tinggi lebih baik dan berkualitas

B. Faktor Pendorong Terjadinya Urbanisasi

1. Lahan pertanian semakin sempit

2. Merasa tidak cocok dengan budaya tempat asalnya

3. Menganggur karena tidak banyak lapangan pekerjaan di desa

4. Terbatasnya sarana dan prasarana di desa

5. Diusir dan dikucilkan dari desa asal

6. Memiliki impian kuat menjadi orang kaya

Kota Jakarta memang menjadi salah satu kota yang dianggap seksi untuk dijadikan tempat bekerja dan berdomisili. Tinggal dan beralamat di Jakarta selalu merepresentasikan status sosial seseorang di kampung halamannya sebagai “orang berhasil”. Pola pikir seperti ini turut menyumbang opini penguat bagi banyak orang untuk mati – matian datang dan menjalani hidup di Jakarta.

Memang, perkerjaan para migran baru itu di kota, kalaupun mendapatkan pekerjaan, tetaplah pekerjaan-pekerjaan kelas bawah. Pekerjaan kasar yang tidak membutuhkan skill. Mereka hanya bekerja di sektor informal. Meski demikian, derajat kerja-kerja kelas bawah di kota-kota besar itu masih lebih tinggi daripada kerja-kerja kelas bawah di desa asal para migran baru tersebut. Dengan kata lain, semiskin-miskin hidup di kota masih lebih miskin hidup di desa.

Perlu dicatat, meskipun urbanisasi merupakan pilihan yang rasional bagi para migran, tetapi ia menjadi problem besar bagi pembangunan kota. Proses perpindahan penduduk dari desa ke kota yang tanpa terkendali akhirnya akan membawa preseden buruk bagi pembangunan di kota.

Urbanisasi tersebut akan menimbulkan pengangguran atau setengah pengangguran, yang diikuti dengan meluasnya aktivitas sektor informal di kota. Ini akan mengakibatkan kualitas hidup para migran menjadi minim, dan kebanyakan mereka hanya mampu hidup secara subsistem. Kondisi ini pada gilirannya akan menimbulkan kemiskinan. Lahirnya daerah-daerah slum dan squater merupakan representasi dari gejala kemiskinan tadi.

Pengelompokan tempat tinggal berdasarkan asal daerah/etnik juga menjadi salah satu ekses negatif yang timbul sehubungan dengan arus urbanisasi. Adanya kampung China, kampung Jawa, kampung Batak, kampung Madura dan lainnya, tentunya sangat potensial dalam menciptakan konflik antarwarga yang berbasis pada perbedaan etnik. Itu adalah problem-problem yang timbul dari adanya arus urbanisasi yang tidak terkendali, yang di Indonesia biasanya menggejala kuat pasca-Lebaran Idul Fitri saat arus balik dari mudik terjadi

Lonjakan arus urbanisasi rata-rata per tahun mencapai 200.000-250.000 jiwa. Dalam lima tahun terakhir jumlah pendatang mengalami penurunan. dalam kurun 2 tahun (2009-2010) terakhir terjadi penurunan jumlah urbanisasi ke Jakarta. Tahun 2009, jumlah pendatang baru sebanyak 69.554 orang, menurun sebanyak 9.554 orang. Tahun 2010, jumlah pendatang baru kembali menurun menjadi sekitar 60.000 orang.

Angka ini turun sebesar 20% dari jumlah urbanisasi yang masuk ke Jakarta tahun 2008 yakni sebesar 80.000-an jiwa. Sedangkan pada tahun 2007 jumlah penduduk desa yang masuk Jakarta berkisar sekitar 100.000 jiwa (Susianah, 2010).

Sebaran Penduduk Pendatang

Daerah Asal Migran Jumlah

Sumatera Utara 27.349

Sumatera Barat 20.031

Banten 48.227

Jawa Barat 186.014

Jawa Tengah 245.181

DIY 16.144

Jawa Timur 63.474

Sebaran Penduduk Pendatang Di DKI Jakarta

Wilayah Jakarta Presentase persebaran

Kepulauan Seribu 1 %

Jakarta Selatan 30 %

Jakarta Timur 41 %

Jakarta Pusat 16 %

Jakarta Barat 5 %

Jakarta Utara 7 %

Berbagai macam cara dilakukan pemprov untuk meminimalisir bejibunnya pendatang baru datang ke Jakarta. Cara yang rajin dilakukan adalah operasi yustisi di berbagai daerah yang dinilai peka para pendatang baru, khususnya daerah yang padat penduduk seperti di wilayah Jakarta Barat, Utara dan Timur. Namun ironisnya, operasi yustisi yang dilakukan belum memberikan efek positif bagi pendatang baru untuk mengurungkan niatnya datang ke Jakarta. Pasalnya, penanganan yang dilakukan masih sebagai tambal sulam dan reaksional. Pada dasarnya tidak ada yang melarang dan adalah hak seseorang datang ke ibu kota untuk mengubah nasib. Namun lambat laut pertumbuhan penduduk Jakarta makin padat dan menjadi perhatian serius karena akan menuai patologi sosial, baik kriminalitas dan ekonomi.

Beberapa solusi untuk menangkal imigran baru antara lain:

1. Membangun daerah-daerah dengan pendekatan kesejahteraan. Tiga sektor yang berkaitan dengan kesejahteraan, yakni pendapatan per kapita, pendidikan dan kesehatan harus dibenahi dan ditingkatkan. Tanpa peningkatan ketiga sektor ini, maka penduduk dari daerah akan terus mencari nafkah di kota-kota besar.

2. Kerjasama Pemprov DKI Jakarta dengan daerah perkotaan memberi bantuan program bagi daerah pedesaan. Tujuannya, agar daerah pedesaan mampu mengikuti kemajuan yang ada di perkotaan. Misalnya pemerintah DKI Jakarta memberikan beasiswa kepada anak-anak yang lulus SD disana (desa), sehingga tidak menjadi pekerja rumah tangga yang merantau ke Jakarta. Lalu memberikan pelatihan bagi mereka disana, advokasi, supaya mereka mampu membangun daerahnya.

3. Mengubah paradigma masyarakat terhadap imej Jakarta yang mampu mengubah nasib dan menjanjikan kemapanan. Suka tidak suka teori, di situ ada gula maka di situ ada semut masih menjadi penilaian yang tepat menggambarkan ramainya masyarakat berbondong-bondong ke Jakarta.

4. Mendorong mereka yang sudah terlanjur berada di Jakarta untuk mendaftarkan diri menjadi penduduk DKI Jakarta dan memiliki KTP DKI. Sehingga mereka bisa mengakses seluruh pelayanan publik di ibu kota.

5. Pengawasan dana hibah yang diberikan DKI Jakarta kepada daerah sekitarnya. Selama ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyediakan dana hibah Rp 2,5 hingga 9 miliar per tahun untuk diberikan ke pemerintah daerah penyangga seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Langkah ini, merupakan salah satu cara untuk mengurungkan niat pendatang untuk berurbanisasi ke ibukota. Selain itu, dengan adanya pembangunan di daerah sekitar Jakarta, seperti BODETABEK, hal ini akan membuat tujuan pendatang akan menyebar. Sehingga tidak terkonsentrasi di Jakarta saja.

6. Koordinasi dengan pemerintah pusat, untuk menangani urbanisasi misalnya dengan program “Satu Desa, Satu Produk”

Belajar dari Negara lain mengatasi urbanisasi

Pemerintah Indonesia dipandang perlu mencontoh kesuksesan pemerintah Thailand mengatasi masalah urbanisasi. Semasa mantan Perdana Menteri Thaksin Sinawatra berkuasa, pemerintah Thailand memiliki program “One Village, One Product, One Million Bath”, yang membuat masing-masing desa berlomba-lomba memiliki produk-produk unggulan. Program tersebut dijalankan secara serius dan konsisten oleh pemerintah sehingga dapat mengembangkan perekonomian masyarakat pedesaan.

OVOP sendiri bukanlah suatu inovasi teknologi baru bagi komunitas agribisnis di Indonesia. Program ini sudah dikenal sejak tahun 2001. Pertama kali OVOP diperkenalkan oleh komunitas kota kecil Oita, Pulau Kyushu, Jepang. Dengan prakarsa dari Morihiko Hiramatsu saat menjabat Gubernur Prefektur Oita. OVOP yang diterjemahkan sebagai “paling sedikit satu kecamatan menghasilkan satu produk unggulan”.

Gerakan ini ditujukan mengembangkan produk yang diterima global dengan tetap memberikan keistimewaan pada invensi nilai tambah lokal dan mendorong semangat menciptakan kemandirian masyarakat. Dari sisi dampak pariwisata, kawasan Oita menjadi magnet bagi 10 juta wisatawan yang berkunjung per tahun.

Kini, Gerakan OVOP telah diadopsi di berbagai belahan dunia seperti One Factory One Product di China untuk Kerajinan kayu, One Barangay One Product (Philipina), Satu Kampung Satu Produk Movement (Malaysia), One Village One Product a Day (USA), One Village One Product (Malawi) dengan produk utama jamur. Sementara di Thailand OVOP lebih dikenal sebagai OTOP, yaitu One Tambon, One Product. Model dari Thailand inilah yang di adopsi oleh pemerintah.

Bagi Indonesia, OVOP berarti satu desa satu produk yang bersifat unggulan. Satu produk merujuk pada pendekatan pengembangan potensi daerah di satu wilayah tertentu, pengertian desa juga bisa diperluas menjadi kecamatan atau kabupaten/kota.

Tujuan utama hadirnya OVOP dalam rangka menggali, mengembangkan dan mempromosikan produk-produk inovatif dan kreatif yang berasal dari daerah yang bersangkutan bersifat unik, khas dan memiliki ciri tertentu agar lebih bernilai tinggi. Sehingga diharapkan mampu mengurangi kemiskinan secara massif.

Show More

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button