PertanianUncategorized

Pengembangan Produk Halal Pada Industri Peternakan…(2)

Landasan Teoritis

Produk Halal dalam Tinjauan Syar’i
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezkikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepadanya ” (QS. Al-Maaidah: 88).
Ayat tersebut di atas secara jelas telah menyuruh kita hanya memakan makanan yang halal dan baik saja, dua kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, yang dapat diartikan halal dari segi syariah dan baik dari segi kesehatan, gizi, estetika dan lainnya. Sesuai dengan kaidah ushul fiqih, segala sesuatu yang Allah tidak melarangnya berarti halal. Dengan demikian semua makanan dan minuman di luar yang diharamkan adalah halal. Oleh karena itu, sebenarnya sangatlah sedikit makanan dan minuman yang diharamkan tersebut. Walaupun demikian, pada zaman di mana teknologi telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari manusia, maka permasalahan makanan dan minuman halal menjadi relatif komplek.
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut nama selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. Al-Baqarah:173).
Dari ayat Al-Quran tersebut jelaslah bahwa makanan yang diharamkan pada pokoknya ada empat, yakni :
• Bangkai : yang termasuk ke dalam kategori bangkai ialah hewan yang mati dengan tidak disembelih, termasuk kedalamnya hewan yang matinya tercekik, dipukul, jatuh, ditanduk dan diterkam oleh hewan buas, kecuali yang sempat kita menyembelihnya (QS. Al-Maaidah:3).
• Darah, sering pula diistilahkan dengan darah yang mengalir (QS. Al-An’aam:145).
• Daging babi. Kebanyakan ulama sepakat menyatakan bahwa semua bagian babi yang dapat dimakan haram, sehingga baik dagingnya, lemaknya, tulangnya, termasuk produk-produk yang mengandung bahan tersebut, termasuk semua bahan yang dibuat dengan menggunakan bahan-bahan tersebut sebagai salah satu bahan bakunya.
• Binatang yang ketika disembelih disebut nama selain Allah. Menurut HAMKA, ini berarti juga binatang yang disembelih untuk yang selain Allah (semua makanan dan minuman yang ditujukan untuk sesajian). Tentu saja semua bagian bahan yang dapat dimakan dan produk turunan dari bahan ini juga haram seperti berlaku pada babi.
Di samping keempat kelompok makanan yang diharamkan tersebut, terdapat pula kelompok makanan yang diharamkan karena sifatnya yang buruk seperti dijelaskan dalam Al Qur’an Surat Al-A`raaf : 157 …..dan menghalalkan bagi mereka segala hal yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala hal yang buruk…… Apa-apa saja yang buruk tersebut agaknya dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam beberapa Hadits, di antaranya Hadits Ibnu Abbas yang dirawikan oleh Imam Ahmad dan Muslim dan Ash Habussunan: Telah melarang Rasulullah SAW memakan tiap-tiap binatang buas yang bersaing (bertaring, penulis), dan tiap-tiap yang mempunyai kuku pencengkraman dari burung. Sebuah Hadits lagi sebagai contoh, dari Abu Tsa`labah: Tiap-tiap yang bersaing dari binatang buas, maka memakannya adalah haram (perawi Hadits sama dengan Hadits sebelumnya).
Ada pula Imam yang tidak mengkategorikan makanan-makanan haram yang dijelaskan dalam Hadits sebagai makanan haram, tetapi hanya makruh saja. Pendapat ini dipegang oleh mazhab Maliki. Akan tetapi, dengan menggunakan common sense saja agaknya sudah dapat dirasakan penolakan untuk memakan binatang-binatang seperti binatang buas: singa, anjing, ular, burung elang, dan sebagainya. Oleh karena itu, barangkali pendapat Mazhab Syafi`i lah yang lebih kuat yang mengharamkan makanan yang telah disebutkan di atas. Ada pula pendapat yang mengatakan hewan yang hidup di dua air haram, yang menurut mereka didasarkan pada Hadits. Hadits yang terdapat dalam kitab Bulughul Maram: Dari `Abdurrahman bin `Utsman Al-Qurasyis-yi bahwasanya seorang tabib bertanya kepada Rasulullah saw tentang kodok yang ia campurkan di dalam satu obat, maka Rasulullah larang membunuhnya (Diriwayatkan oleh Ahmad dan disahkan oleh Hakim dan diriwayatkan juga oleh Abu Dawud dan Nasa`i). Dari Hadits tersebut, dapat diinterpretasikan bahwa larangan membunuh kodok sama dengan larangan memakannya. Akan tetapi larangan terhadap binatang lainnya yang hidup di dua air seperti kodok tentulah tidak secara tegas dinyatakan dalam Hadits tersebut, mungkin itu hanya hasil qias saja. Dengan demikian, kebenaran pendapat tersebut sangat bergantung pada kebenaran sumber hukumnya.
Dari semua minuman yang tersedia, hanya satu kelompok saja yang diharamkan yaitu khamar. Yang dimaksud dengan khamar yaitu minuman yang memabukkan sesuai dengan penjelasan Rasulullah SAW berdasarkan Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud dari Abdullah bin Umar: Setiap yang memabukkan adalah khamar (termasuk khamar) dan setiap khamar adalah diharamkan. Dari penjelasan Rasulullah jelas bahwa batasan khamar didasarkan atas sifatnya, bukan jenis bahannya, bahannya sendiri dapat apa saja. Dalam hal ini ada perbedaan pendapat mengenai bahan yang diharamkan, ada yang mengharamkan khamar yang berasal dari anggur saja. Pendapat yang mengharamkan semua bahan yang bersifat memabukkan, tidak perlu dilihat lagi asal dan jenis bahannya, hal ini didasarkan atas kajian Hadits-Hadits yang berkenaan dengan itu, juga pendapat para ulama terdahulu. Mengenai sifat memabukkan sendiri dijelaskan lebih rinci lagi oleh Umar bin Khattab seperti diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim sebagai berikut: Kemudian daripada itu, wahai manusia! sesungguhnya telah diturunkan hukum yang mengharamkan khamar. Ia terbuat dari salah satu lima unsur: anggur, korma, madu, jagung dan gandum. Khamar itu adalah sesuatu yang mengacaukan akal. Jadi sifat mengacaukan akal itulah yang dijadikan patokan. Sifat mengacaukan akal itu di antaranya dicontohkan dalam Al-Quran yaitu membuat orang menjadi tidak mengerti lagi apa yang diucapkan seperti dapat dilihat pada Surat An-Nisa: 43: Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan. Dengan demikian berdasarkan ilmu pengetahuan dapat diartikan sifat memabukkan tersebut yaitu suatu sifat dari suatu bahan yang menyerang syaraf yang mengakibatkan ingatan kita terganggu. Keharaman khamar ditegaskan dalam Al-Quran Surat Al-Maaidah ayat 90-91 : Hai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya meminum khamar, berjudi, berkorban untuk berhala dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan-perbuatan keji yang termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menumbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran meminum khamar dan berjudi itu dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang. Maka berhentilah kamu mengerjakan perbuatan itu.
Dengan berpegang pada definisi yang sangat jelas tersebut di atas maka kelompok minuman yang disebut dengan minuman keras atau minuman beralkohol (alcoholic beverages) adalah tergolong khamar. Banyak orang mengasosiasikan minuman keras ini dengan alkohol saja sehingga yang diharamkan berkembang menjadi alkohol (etanol), padahal tidak ada yang sanggup meminum etanol dalam bentuk murni karena akan menyebabkan kematian. Etanol memang merupakan komponen kimia yang terbesar (setelah air) yang terdapat pada minuman keras, akan tetapi etanol bukan satu-satunya senyawa kimia yang dapat menyebabkan mabuk, banyak senyawa-senyawa lain yang terdapat pada minuman keras juga bersifat memabukkan jika diminum pada konsentrasi cukup tinggi. Secara umum, golongan alkohol bersifat narkosis (memabukkan), demikian juga komponen-komponen lain yang terdapat pada minuman keras seperti aseton, beberapa ester dan lain-lain. Secara umum, senyawa-senyawa organik mikromolekul dalam bentuk murninya kebanyakan adalah racun. Oleh karena itu, tidak dapat menentukan keharaman minuman hanya dari alkoholnya saja, akan tetapi harus dilihat secara keseluruhan, yaitu apabila keseluruhannya bersifat memabukkan maka termasuk ke dalam kelompok khamar. Apabila sudah termasuk ke dalam kelompok khamar maka sedikit atau banyaknya tetap haram, tidak perlu lagi dilihat berapa kadar alkoholnya. Apabila yang diharamkan adalah etanolnya, maka dampaknya akan sangat luas sekali karena banyak sekali makanan dan minuman yang mengandung alkohol, baik terdapat secara alami (sudah terdapat sejak bahan pangan tersebut baru dipanen dari pohon) seperti pada buah-buahan, atau terbentuk selama pengolahan seperti kecap. Akan tetapi diketahui bahwa buah-buahan segar dan kecap tidak menyebabkan mabuk. Di samping itu, apabila alkohol diharamkan maka ketentuan ini akan bertentangan dengan penjelasan yang diberikan oleh Rasulullah SAW tentang jus buah-buahan dan pemeramannya seperti tercantum dalam Hadits-Hadits berikut:
• Minumlah itu (juice) selagi ia belum keras. Sahabat-sahabat bertanya: Berapa lama ia menjadi keras? Ia menjadi keras dalam tiga hari, jawab Nabi. (Hadits Ahmad diriwayatkan dari Abdullah bin Umar).
• Bahwa Ibnu Abbas pernah membuat juice untuk Nabi saw. Nabi meminumnya pada hari itu, besok dan lusanya hingga sore hari ketiga. Setelah itu Nabi menyuruh khadam menumpahkan atau memusnahkannya. (Hadits Muslim berasal dari Abdullah bin Abbas).
• Buatlah minuman anggur! Tetapi ingat, setiap yang memabukkan adalah haram (Hadits tercantum dalam kitab Fiqih Sunah karangan Sayid Sabiq).
Pemeraman juice pada suhu ruang dan udara terbuka sampai dua hari jelas secara ilmiah dapat dibuktikan akan mengakibatkan pembentukan etanol, tetapi memang belum sampai pada kadar yang memabukkan, hal ini juga dapat terlihat pada pembuatan tape. Sebelum diperam pun juice sudah mengandung alkohol, juice jeruk segar misalnya dapat mengandung alkohol sebanyak 0.15%. Dari pembahasan tersebut di atas jelaslah bahwa pendapat yang mengatakan diharamkannya alkohol lemah, bahkan bertentangan dengan Hadits Rasulullah SAW. Apabila alkohol diharamkan, maka seharusnya alkohol tidak boleh digunakan untuk sterilisasi alat-alat kedokteran, campuran obat, pelarut (pewarna, flavor, parfum, obat, dan lain-lain), bahkan etanol harus ditiadakan dari laboratorium-laboratorium. Jelas hal ini akan sangat menyulitkan. Di samping itu firman Allah SWT dalam Surat Al-Maidah ayat 87: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang Allah telah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
Ada pula yang berpendapat bahwa etanol itu haram, akan tetapi etanol dapat digunakan dalam pengolahan pangan asalkan pada produk akhir tidak terdeteksi lagi adanya etanol. Pendapat ini lemah karena dua hal; pertama, berdasarkan hukum fiqih, apabila suatu makanan atau minuman tercampur dengan bahan yang haram maka menjadi haramlah ia (ada pula yang berpendapat bahwa hal ini dibolehkan sepanjang tidak merubah sifat-sifat makanan atau minuman tersebut). Pendapat ini hasil qias terhadap kesucian air yang tercampuri bahan yang najis, sepanjang tidak merubah sifat-sifat air maka masih tetap suci. Banyak yang tidak sependapat dengan pandangan ini karena masalah kehalalan makanan dan minuman tidak bisa disamakan dengan masalah kesucian air, keduanya merupakan dua hal yang berbeda. Kedua, secara saintifik (ilmu pengetahuan) tidak mungkin dapat menghilangkan suatu bahan sampai 100 persen apabila bahan tersebut tercampur ke dalam bahan lain, dengan kata lain apabila etanol terdapat pada bahan awalnya, maka setelah pengolahan juga masih akan terdapat pada produk akhir, walaupun dengan kadar yang bervariasi tergantung pada jumlah awal etanol dan kondisi pengolahan yang dilakukan. Hal ini dapat dibuktikan di laboratorium. Batasan khamar ini nampaknya tidak terbatas pada minuman saja mengingat ada Hadits yang mengatakan setiap yang memabukkan adalah khamar dan setiap khamar adalah haram (Hadits Muslim); Semua yang mengacaukan akal dan semua yang memabukkan adalah haram (Hadits Abu Daud). Dengan demikian segala hal yang mengacaukan akal dan memabukkan seperti narkotika dan ecstasy adalah haram (Apriyantono, 2003).

2.1.2 Produk Halal dalam Tinjauan Teknologi Pangan
Keharaman suatu bahan pangan dapat disebabkan oleh karena bahan asalnya (babi dan turunannya, binatang buas, bangkai), sifatnya (memabukkan), dan cara penyembelihan hewan halal (tidak mengikuti syariat Islam). Dari segi teknologi, titik kritis yang harus diperhatikan dalam kaitannya dengan makanan dan minuman halal ialah jenis dan asal bahan serta cara penyembelihan. Perkembangan teknologi pangan pada saat ini telah sampai pada kondisi dimana begitu banyak bahan baku dan bahan tambahan yang digunakan untuk memproduksi suatu makanan olahan. Sebagai contoh, puluhan jenis ingredien yang diperlukan untuk membuat mie instan, dari mulai terigu, minyak goreng, rempah-rempah, perisa (flavourings), garam, ekstrak khamir (yeast extract), dan lain-lain. Jika diselidiki lebih lanjut lagi, salah satu ingredien yaitu perisa (kebanyakan sintetik) ternyata mengandung juga puluhan bahan penyusun, baik itu dalam bentuk bahan kimia murni atau hasil suatu reaksi. Oleh karena itu, untuk meneliti kehalalan mie instan saja bukanlah hal mudah karena harus memeriksa berbagai sumber bahan, di samping produsen mie yang bersangkutan. Seringkali diperlukan waktu dan tahap yang cukup panjang untuk dapat mengetahui asal suatu bahan. Sebagai contoh, untuk memeriksa perisa ayam (bahan yang digunakan untuk menimbulkan rasa ayam) maka harus memeriksa industri flavor (flavour house) yang memproduksinya. Dari sekian banyak yang digunakan untuk menyusun perisa ayam, salah satunya yaitu lemak ayam, untuk itu perlu memeriksa pula produsen lemak ayam yang bersangkutan. Dengan demikian, dapat dibayangkan bahwa pekerjaan seorang auditor makanan dan minuman halal bukanlah pekerjaan mudah karena di samping memerlukan ketelitian yang tinggi juga memerlukan pengetahuan yang mendalam tentang masalah yang dihadapi, dari mulai pengetahuan bahannya, cara memproduksinya sampai berbagai kemungkinan asal bahan dan cara-cara sintesisnya atau formulasinya.
Pada dasarnya ada tiga jenis kategori bahan makanan dan minuman yang diharamkan yaitu: 1) minuman yang memabukkan; 2) produk hewani (bagian yang dapat dimakan dari babi, bagian yang dapat dimakan dari hewan yang tidak disembelih menurut syariat Islam, darah, bangkai dan turunan dari bahan-bahan yang berasal dari produk hewani yang telah disebutkan, sebagai contoh asam stearat yang berasal dari lemak babi); 3) bahan tambahan makanan yang mengandung unsur-unsur bahan yang termasuk kedalam kategori 1) dan 2).
Banyak sekali jenis-jenis minuman yang memabukkan, minuman jenis ini sering disebut juga dengan istilah minuman keras dan dikenal sebagai alcoholic beverages. Secara garis besar minuman yang memabukkan dikelompokkan menjadi wine, bir, dan spirit yang terdiri dari liquor dan liqueurs (cordials). Ada berbagai jenis jenis bir yang beredar di pasaran dengan kadar alkohol bervariasi dan dapat mencapai 5.5%, bahkan pada strong beer dapat mencapai 8%. Ada juga salah satu jenis bir yang disebut lager yaitu bir yang disimpan sekitar 6 bulan sebelum dipasarkan. Yang juga penting diketahui ialah ada produk minuman yang dibuat dari campuran bir (dapat pula bahan dasar bir), perisa (flavourings), air dan bahan lainnya yang ditambah lagi dengan gas karbon dioksida, yang di pasarn dikenal sebagai minuman shandy. Minuman jenis ini sangat mengecoh konsumen yang tidak tahu asal usulnya karena kalau dilihat sifatnya memang tidak memabukkan karena kadar alkoholnya hanya 1%. Akan tetapi, mengingat minuman tersebut mengandung unsur bir yang diharamkan maka seharusnya minuman jenis shandy ini juga haram (tidak tertutup kemungkinan ada yang menghalalkan minuman ini dengan dasar sifatnya yang tidak memabukkan, akan tetapi menurut penulis asal bahan harus dipertimbangkan, sehingga suatu bahan jika mengandung bahan yang haram maka haramlah ia. Di samping itu, diperlukan pula usaha untuk tidak membuka peluang diproduksi dan beredarnya minuman haram).
Yang membingungkan bagi awam adalah minuman yang namanya rootbeer. Setelah dicek dari keterangan komposisinya ternyata minuman ini dibuat dari perisa (flavourings, dikenal juga dengan essens), air dan gas karbon dioksida. Dilihat dari komposisinya maka rootbeer tidak dapat dikategorikan haram, akan tetapi mengingat sebagian namanya memakai nama minuman yang diharamkan, maka jenis minuman ini seharusnya dihindari karena dengan namanya tersebut dapat mengakibatkan kita menjadi dekat dengan barang-barang yang haram, atau dapat pula karena suatu saat akan tidak jelas lagi mana yang halal dan mana yang haram. Sebagai contoh, rum adalah salah satu jenis minuman keras yang sangat memabukkan. Akan tetapi, sekarang beredar rum sintetik yang tidak dibuat dengan cara fermentasi seperti rum aslinya, akan tetapi merupakan campuran bahan-bahan kimia sintetik. Ibu-ibu rumah tangga sering menggunakan rum ini untuk membuat kue sus. Orang awam jelas tidak dapat membedakan dengan mudah mana rum yang asli dan mana yang sintetik. Oleh karena itu, semua bahan yang mempunyai nama sama dengan bahan yang diharamkan sebaiknya dihindari (Apriyantono et al, 2003).
Perlu pula diketahui bahwa sekarang ini beredar yang disebut dengan alcohol-free beer, yang sebenarnya tidak benar-benar bebas alkohol, bahkan kadar alkoholnya dapat mencapai 1%. Bir jenis ini dapat dibuat dengan dua cara yaitu cara pertama dengan mendestilasi bir sehingga kadar alkoholnya jauh menurun, sedangkan cara kedua yaitu membuat bir dari campuran perisa (flavor) bir dan bahan-bahan lainnya. Bir yang dibuat dengan cara pertama jelas haram karena berasal dari bir, sedangkan bir yang dibuat dengan cara kedua juga sebaiknya dihindari bahkan diharamkan karena jika tidak dan kita mengkonsumsinya, maka dikhawatirkan nantinya kita akan cenderung untuk mencintai barang-barang yang diharamkan. Secara umum ada dua jenis wine yaitu white wine (anggur putih) dan red wine (anggur merah). Secara lebih spesifik wine ini sangat banyak sekali ragamnya, sering dikenal dengan nama daerah asal atau varitas anggur yang digunakan sebagai bahan dasarnya. Berdasarkan fungsinya wine dapat dibedakan menjadi dessert wines (Malaga, Portwine, Samos, Marsala), wine-like beverages (minuman seperti wine) seperti berbagai jenis cider, sake, dll, dan jenis berikutnya yaitu malt wine. Kadar alkohol wine berkisar antara 5.5 – 16.6%. Jenis wine lainnya ialah apa yang disebut dengan wine-containing beverages (minuman yang mengandung wine) yang dibuat dengan bahan dasar wine dengan bahan tambahan lainnya seperti rempah-rempah, contoh wine jenis ini yaitu vermouth. Yang patut diwaspadai ialah apa yang disebut dengan punches, minuman ini dibuat dari campuran wine, air soda dan buah-buahan, yang juga harus diwaspadai yaitu bahwa wine sering digunakan sebagai salah satu bahan tambahan suatu masakan (terutama masakan dari Negara-negara Barat, khususnya masakan Perancis), bahkan arak pun kadang digunakan pada pembuatan kambing guling. Jelas hal ini akan mengakibatkan haramnya masakan yang dibuat dengan menambahkan wine atau arak tersebut.
Spirit adalah minuman beralkohol yang dibuat dengan cara distilasi hasil fermentasi karbohidrat sehingga kadar alkoholnya menjadi tinggi. Seperti telah dijelaskan di atas minuman ini terbagi menjadi dua kelompok yaitu liquor (kadar alkohol minimum 38%) dan liqueurs (cordial) dengan kadar alkohol 20 – 35%. Yang termasuk ke dalam liquor yaitu wine brandy, fruit brandy, rum, arak, gin, whiskey, whisky dan vodka. Ada berbagai macam jenis liqueurs yang intinya campuran hasil distilasi seperti liqour dengan buah-buahan, rempah-rempah, ekstrak atau essens. Perlu diperhatikan pada waktu membeli coklat impor karena cukup banyak pula yang mengandung bahan-bahan seperti rum, brandy atau wine (sherry wine), yang mengandung sherry wine ini biasanya coklatnya mengandung buah sherry tetapi di dalam buah sherry tersebut terkandung sherry wine.
Ada jenis minuman yang seharusnya juga haram karena sifatnya yang memabukkan walaupun minuman jenis ini sering dikategorikan sebagai obat, tetapi karena sifatnya yang memabukkan maka minuman jenis ini termasuk khamar. Yang termasuk ke dalam minuman jenis ini yaitu anggur obat, beras kencur, anggur kolesom, dll. Kadar alkohol minuman jenis ini dapat mencapai 15%, sehingga tidak dapat diragukan lagi sifat memabukkannya, keharaman produk hewani dapat disebabkan oleh jenis hewannya (babi, binatang buas), asal produk (bangkai), cara penyembelihan (tidak disembelih menurut syariat Islam), darah dan produk olahan serta produk samping atau produk turunan dari keempat kelompok tersebut. Kemungkinan bahan-bahan yang diharamkan tersebut ditemui sebagai atau berada dalam bahan pangan hewani segar dan olahan yang mungkin bisa ditemui dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan keharamannya ada tiga kelompok bahan pangan hewani segar yang haram yaitu bagian yang dapat dimakan (khususnya daging dan lemak) dari babi, bangkai, dan hewan yang tidak disembelih menurut syariat Islam (catatan: ikan, telur dan susu adalah bahan pangan hewani yang tidak termasuk kedalam bahan pangan haram). Ketiga kelompok ini, khususnya bangkai dan hewan yang tidak disembelih menurut syariat Islam apabila terdapat di pasaran akan sulit sekali bagi awam mengenalinya, apalagi jika bercampur dengan daging yang halal. Terlebih lagi apabila hewan yang disembelih secara tradisional, tetapi tidak memenuhi kaidah syariat Islam seperti tidak dibacakan basmallah, maka bisa dikatakan tidak mungkin dapat membedakannya dengan daging yang halal. Oleh karena itu, perlu pengaturan dan pengawasan yang seksama terhadap daging-daging dan lemak yang beredar di pasaran seperti nanti akan diuraikan pada tulisan seri ketiga (mengenai sertifikasi). Walaupun demikian, masih ada kemungkinan untuk mengenali beberapa daging hewan yang diharamkan walaupun sifatnya tidak dapat memastikan. Ada dua istilah yang sering digunakan untuk menunjukkan bahwa bahan tersebut adalah daging babi yaitu ham dan bacon. Ham yaitu daging babi bagian belakang, sedangkan bacon adalah iga babi asap. Secara umum daging babi memiliki lapisan lemak yang tebal dengan serat yang cukup halus. Akan tetapi, tidak mudah membedakan antara daging babi dengan daging sapi muda, keduanya sangat mirip, apalagi jika keduanya bercampur.
Di negara Barat dikenal juga apa yang disebut dengan ham sapi, ini berarti bagian paha belakang daging sapi, juga ada beef bacon (iga asap daging sapi). Istilah ini kemudian ada juga yang menirunya di Indonesia, padahal seperti telah dibahas sebelumnya, masalah nama ini sangat penting karena kalau kita biarkan nama-nama barang yang haram bercampur dengan nama-nama barang yang halal, dikhawatirkan akan menjadi rancu dan tidak jelas lagi mana yang halal dan mana yang haram, di samping itu jika kita memperkenalkan nama barang haram pada barang yang halal, maka hal ini dapat mendekatkan kita kepada mencintai barang yang haram tersebut. Oleh karena itu penggunaan istilah-istilah ham dan bacon untuk daging yang halal seharusnya tidak diperkenankan.
Lemak babi dikenal dengan istilah lard, sedangkan lemak sapi atau kambing disebut dengan tallow. Akan tetapi, di perdagangan seringkali tallow berarti lemak hewani (termasuk lemak babi). Bentuk fisik lard dan tallow yaitu padat. Di negara Barat, lard dan tallow kadang digunakan sebagai minyak penggoreng atau dicampurkan dalam minyak goreng nabati dengan tujuan untuk mendapatkan flavor (rasa dan aroma) yang baik dari bahan yang digoreng. Bangkai, seperti ayam-ayam yang mati selama perjalanan seringkali tetap dijual ke konsumen, padahal jelas haramnya. Daging bangkai dapat dikenali dari adanya bercak-bercak darah beku yang terkumpul di beberapa bagian, hal ini terjadi karena tidak mati melalui penyembelihan maka darah ayam tidak keluar, sehingga akan terkumpul pada beberapa bagian daging. Hal yang sama bagi hewan yang matinya tidak melalui penyembelihan normal tetapi melalui penusukan jantung misalnya.
Berkaitan dengan masalah penyembelihan maka ada berbagai cara penyembelihan. Secara umum dikenal dua jenis cara penyembelihan yaitu tradisonal dan moderen. Penyembelihan tradisional yaitu seperti yang kita kenal dimana hewan dipegangi lalu dipotong urat lehernya, sedangkan penyembelihan moderen pada tahap akhir sama dengan yang tradisional tetapi diawali dengan membuat pingsan lebih dulu hewan yang akan dipotong yaitu dengan cara pembiusan dengan bahan kimia, pemingsanan dengan aliran listrik, dan pemingsanan dengan penembakan. Cara pemingsanan yang terakhir ini perlu perhatian yang seksama karena jika tidak cepat penyembelihannya maka hewannya keburu mati sebelum disembelih. Cara-cara penyembelihan seperti dikemukakan di atas masih dibenarkan oleh syariat Islam (kecuali penyembelihan melalui penusukan jantung), asalkan pada waktu menyembelih dibacakan basmallah. Masalahnya, secara fisik daging yang disembelih dengan cara yang sama tetapi dengan tidak dibacakan basmallah akan sama saja dengan yang dibacakan basmallah, tidak dapat dibedakan sama sekali. Oleh karena itu, untuk itu diperlukan proses sertifikasi dan pengawasan yang ketat terhadap rumah-rumah potong hewan, khususnya rumah potong ayam yang banyak tersebar dengan skala dari mulai kecil sampai besar, sedangkan rumah potong hewan besar relatif lebih terkontrol karena biasanya dilakukan di pejagalan dengan pengawasan yang cukup ketat.
Apabila terjadi pencampuran daging, misal untuk kasus daging impor sapi yang dicampur dengan daging babi, maka seperti telah disebutkan di atas, akan sulit bagi awam untuk mengenalinya. Akan tetapi, adanya pencampuran daging sapi dengan babi atau lemak sapi dengan lemak babi masih dapat dikenali melalui pemeriksaan yang teliti di laboratorium, walaupun tidak mudah (mengenai detail cara pemeriksaan laboratorium akan dibicarakan pada kesempatan lain). Di samping itu, setiap jenis analisis laboratorium selalu mempunyai keterbatasan yang disebut dengan limit deteksi, yaitu suatu batas dimana di bawah nilai limit deteksi kita tidak dapat memastikan apakah terjadi pencampuran atau tidak. Oleh karena itu, secara umum cara pemeriksaan laboratorium merupakan langkah akhir yang ditempuh dalam suatu pemeriksaan kehalalan karena masalah halalnya suatu bahan tidak dapat disebut 10% halal, 50% halal, dst, tetapi hanya ada dua kategori yaitu halal dan haram. Selain itu, tercampur sedikit saja dengan daging babi, maka daging sapi yang tercampur tersebut menjadi haram, jadi dalam hal ini analisis yang dilakukan harus mempunyai limit deteksi 0%, secara teoritis hal ini tidak mungkin. Dengan demikian, analisis laboratorium hanya dapat menyarankan, tidak dapat memastikan.
Permasalahan akan lebih kompleks apabila yang dianalisa produk olahan dimana sifat-sifat daging atau lemak segar sudah berubah dan tercampur dengan bahan-bahan lain yang banyak sekali jumlahnya, jelas hal ini akan sangat menyulitkan deteksi adanya pencampuran, bahkan dapat dikatakan tidak mungkin untuk mendeteksinya pada kebanyakan kasus. Hal yang lebih kompleks lagi terjadi pada kasus bahan tambahan makanan seperti akan diuraikan kemudian karena asal bahan tidak mudah ditelusuri melalui analisis laboratorium. Oleh karena itu, perlu diketahui oleh umum bahwa analisis laboratorium untuk mendeteksi adanya daging atau lemak babi pada bahan pangan olahan sangat kecil kemungkinan keberhasilannya, yang masih memungkinkan adalah untuk bahan pangan hewani segar, itu pun tidak mudah, memerlukan keahlian khusus dan peralatan khusus. Oleh karena itu, penulis menyangsikan jika ada lembaga sertifikasi swasta yang mengaku dapat melakukan sertifikasi halal melalui proses analisis laboratorium sebagai andalan dengan alasan-alasan yang telah dikemukakan di atas. Untuk laboratorium-laboratorium yang ada di perguruan tinggi dan lembaga penelitian pemerintah, analisis pencampuran pada bahan pangan segar masih memungkinkan karena pada lembaga-lembaga tersebut memiliki peralatan yang memadai, walaupun tersebar di berbagai laboratorium atau bagian, dan dengan catatan pula memiliki tenaga ahli yang kompeten di bidang analisis dan kimia pangan.
Banyak sekali produk olahan hewani (selain ikan, telur dan susu olahan) ini, di antaranya: sosis, daging kaleng (kornet), salami, meat loaf, steak, dendeng (hati-hati sekarang sudah diproduksi dendeng babi di Indonesia, hanya saja tidak mengetahui dengan pasti apakah produk ini khusus untuk impor atau juga beredar di Indonesia). Dengan demikian, kehalalan produk olahan ini tidak hanya bergantung pada bahan utamanya saja (dagingnya), akan tetapi sangat bergantung kepada bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan produk olahan tersebut. Dari semua jenis produk olahan hewani tersebut, yang termasuk paling rawan dari segi kehalalannya ialah sosis. Di Jerman, khususnya dan negara Barat umumnya terdapat aturan penamaan sosis ini. Contoh aturan penamaan yang berlaku di Jerman :
• Jika hanya disebut sosis maka sudah otomatis dari babi, baik lemak ataupun dagingya.
• Jika disebut sosis sapi, maka dagingnya sebagian besar dari daging sapi, namun lemaknya bisa dari mana saja dan umumnya adalah dari lemak babi.
• Jika sosisnya semuanya dari sapi dan tanpa bahan dari hewan lain, maka penamaannya harus disebutkan nama hewannya dan ditambahkan kata murni, jadi harus `sosis sapi murni`.
Penamaan sosis menjadi lebih kompleks untuk produk-produk pate atau dapat diterjemahkan sebagai sosis pasta atau sosis pasta hati. Masalah dengan penamaan sosis pasta ini yaitu seringkali nama tidak menggambarkan kandungan yang sebenarnya. Sebagai contoh, sosis pasta sapi tidak hanya mengandung bahan-bahan dari sapi saja tetapi dapat hatinya berasal dari babi, begitu juga lemaknya (Tabel 1).

Dengan demikian, diperlukan ketelitian yang sangat tinggi terhadap pemeriksaan kehalalan sosis-sosis impor yang masuk ke Indonesia, dan hal ini hanya bisa dilakukan oleh ahlinya, jika tidak awam tidak akan tahu komposisi yang sebenarnya. Di samping itu, masalah lainnya tentu saja perlu juga jelas bagaimana penyembelihan hewan-hewan yang digunakan untuk membuat sosis tersebut. Produk samping pemotongan hewan dapat berupa darah, kulit, tulang, daging sisa dan turunan-turunannya. Seringkali keberadaan produk-produk ini menjadi masalah terhadap kehalalan produk olahan, sayangnya keberadaannya tidak dapat dilihat atau dirasakan secara fisik, juga tidak mudah atau sangat sulit sekali (nyaris tidak mungkin) untuk mendeteksinya melalui analisis laboratorium.
Di beberapa daerah di Indonesia darah beku (dikenal dengan nama dadih atau marus) dimakan dengan diolah dengan digoreng atau direbus, padahal jelas haramnya. Di negara-negara Eropa darah juga dimakan, namun jarang dalam bentuk dadih tetapi dibuat menjadi produk sejenis sosis. Di Jerman dikenal berbagai bentuk sosis yang menggunakan bahan baku darah seperti sosis Thueringer, sosis lidah, sosis darah dan tetelan. Di samping langsung diolah menjadi dadih dan sosis darah, darah dapat juga dikeringkan langsung dan diolah menjadi tepung darah yang berfungsi baik sebagai bahan pakan (makanan ternak) ataupun ditambahkan ke dalam pangan olahan tertentu dengan maksud untuk mempertinggi nilai gizinya, misal untuk meningkatkan kadar besinya (darah banyak mengandung zat besi), dapat pula untuk meningkatkan kadar proteinnya. Di samping itu, tepung darah dapat berfungsi sebagai bahan pengikat atau bahan pengisi yang dapat memperbaiki flavor ataupun mutu pangan olahan, misalnya darah kering sering ditambahkan ke dalam sosis agar warna sosis dan daya ikat air sosis menjadi lebih baik.

Darah juga diproses lebih lanjut, misalnya dipisahkan plasma darah dan serum darahnya, lalu dikeringkan menjadi plasma darah kering yang siap digunakan sebagai bahan pembantu dalam proses pengolahan pangan selanjutnya. Sebagai contoh, bovine plasma protein isolate (isolat plasma darah) digunakan untuk menggantikan sebagian tepung gandum pada pembuatan roti, juga dapat digunakan sebagai bahan pengganti sebagian putih telur pada pembuatan kue. Dari darah juga dapat dihasilkan konsentrat globin yang dapat digunakan sebagai pengganti sebagian daging tanpa lemak pada produk patty (meat pie). Produk lain yang dapat dihasilkan dari darah yaitu yang disebut gel fibrin yang dapat ditambahkan pada daging mentah sehingga membentuk reformed meat products. Daging yang dibuat dengan menambahkan gel fibrin disebut super glue steaks dan telah dipasarkan di Inggris. Darah, terutama darah kering juga dapat digunakan sebgai pewarna merah dalam makanan.
Kulit merupakan produk samping yang kaya akan protein kolagen dan mempunyai sifat-sifat khusus. Untuk hewan besar seperti sapi, kerbau dan kuda, umumnya kulitnya digunakan sebagai kulit samak. Kulit pada bagian luar disamak dan selanjutnya dibuat menjadi barang-barang kerajinan. Kulit bagian dalam (sisa dari penyamakan), umumnya dikumpulkan dan diproses lebih lanjut menjadi casing (selongsong sosis). Untuk pembuatan selongsong sosis diperlukan teknologi tinggi dan padat modal, sehingga umumnya hanya dilakukan oleh industri besar, juga memerlukan bahan baku yang banyak dan kontinyu penyediaannya. Untuk hewan kecil, terutama kulit babi, di samping diolah langsung menjadi bahan sejenis sosis yang transparan, juga sebagian besar diproses lebih lanjut menjadi gelatin. Perlu diketahui, pada prinsipnya gelatin dapat dibuat dari bahan yang kaya akan kolagen seperti kulit dan tulang baik dari babi maupun sapi. Akan tetapi, apabila dibuat dari kulit dan tulang sapi, prosesnya lebih lama dan memerlukan air pencuci/penetral (bahan kimia) yang lebih banyak, sehingga kurang berkembang. Akan tetapi, sekarang gelatin sapi pun sudah mulai di produksi di negara-negara muslim karena kebutuhannya semakin mendesak untuk menggantikan gelatin dari babi.
Dari cara pembuatannya, ada dua jenis gelatin yaitu gelatin tipe A dan tipe B. Gelatin tipe A adalah gelatin yang umumnya dibuat dari kulit hewan muda (terutama babi), sehingga proses pelunakannya dapat dilakukan dengan cepat yaitu dengan sistim perendaman dalam larutan asam (A=acid). Gelatin tipe B adalah gelatin yang diolah ari bahan baku yang keras seperti dari hewan tua dan tulang, sehingga proses perendamannya perlu lama dan larutan yang digunakan yaitu larutan basa (B=base). Oleh karena itu, keliru jika orang menganggap B adalah singkatan dari Beef (sapi).
Penggunaan gelatin sangat luas, bukan hanya pada produk pangan, tetapi juga pada produk farmasi dan kosmetika (Tabel 2). Hal ini dikarenakan gelatin bersifat serba bisa, yaitu bisa berfungsi sebagai bahan pengisi, pengemulsi (emulsifier), pengikat, pengendap, pemerkaya gizi, sifatnya juga luwes yaitu dapat membentuk lapisan tipis yang elastis, membentuk film yang transparan dan kuat, kemudian sifat penting lainnya yaitu daya cernanya yang tinggi.

Pada proses deboning (penghilangan tulang dari daging) masih cukup banyak daging yang menjadi limbah, demikian juga dari hasil pemotongan daging, seringkali masih tersisa daging yang masih dapat dimanfaatkan lebih lanjut. Telah dilaporkan bahwa daging sisa tersebut dapat difraksinasi menjadi isolat-isolat protein seperti salt soluble protein (SSP), insoluble myofibrillar protein (IMP) dan connective tissue protein (CTP) yang masing-masing mempunyai sifat fungsional tertentu yang telah digunakan pada pembuatan sosis. Isolat protein tersebut dapat pula berasal dari mince pork (daging babi giling). Di samping itu, daging sisa ini dapat dibuat menjadi ekstrak daging (meat extract) yang dapat digunakan untuk pembuatan perisa (flavor) daging. Sayangnya, penulis belum mengetahui dengan pasti apakah ekstrak daging ini telah dipasarkan secara komersil dan digunakan dalam pengolahan pangan. Walaupun demikian, tidak tertutp kemungkinan bahwa di masa datang produk tersebut menjadi bagian dari makanan olahan yang kita konsumsi sehari-hari.
Ada pula yang disebut dengan meat protein concentrate (konsentrat protein daging) yang dibuat dari daging sisa. Selain itu ada pula protein hidrolisat yang dibuat dari kepala ayam dan digunakan untuk ingredien sosis, suplemen pada sup, minuman dan produk bakery. Di Jerman telah dibuat hidrolisat protein kolagen (biasanya dari tulang) yang digunakan pada pate, spread dan ready meals. Pada produk-produk pangan dengan sistem emulsi (di samping bahan-bahan lain, mengandung campuran minyak atau lemak dengan air) sangat besar kemungkinan ditemui adanya pengemulsi (emulsifier) karena sangat dibutuhkan untuk menstabilkan sistem emulsinya. Contoh produk ini yaitu margarin, spread, es krim, desserts beku, cake, pudding, dll. Pada margarin sering digunakan pengemulsi monogliserida, digliserida yang dapat berasal dari lemak hewani, akan tetapi akhir-akhir ini banyak pula yang menggunakan pengemulsi lesitin yang berasal dari kacang kedele. Pada produk spread dapat mengandung gelatin dan monogliserida.
Shortening adalah campuran berbagai jenis minyak dan lemak yang digunakan untuk melembutkan produk bakery, cake dan dry mix. Bahan dasar pembuatan shortening yaitu minyak nabati, lemak hewani (lemak babi dan lemak sapi) dan minyak ikan. Dengan demikian shortening sangat rawan dipandang dari segi kehalalannya. Akan tetapi, bersyukur kita sekarang karena sudah ada shortening yang dibuat dari bahan dasar minyak kelapa sawit saja yang di pasaran dikenal dengan mentega putih. Walaupun demikian, dapat dibayangkan betapa rawannya kehalalan produk-produk pangan yang masuk ke Indonesia, padahal secara fisik dan analisis laboratorium sangat sulit mengenali adanya lemak-lemak hewani atau turunannya tersebut. Yang paling menyulitkan dalam penentuan halal tidaknya suatu produk ialah apabila produk yang bersangkutan mengandung bahan aditif yang dapat berasal dari hewan, sebagai contoh adalah pengemulsi. Pengemulsi yang sering digunakan di antaranya ialah turunan trigliserida, asam lemak dan gliserol, baik dalam bentuk monogliserida, digliserida, garam asam lemak, dan lain-lain. Trigliserida, asam lemak dan gliserol dapat berasal dari lemak hewani, dalam hal ini yang paling banyak di negara Barat ialah lemak babi. Akan tetapi, gliserol dapat berasal dari hasil samping pembuatan sabun (masih belum dapat dijamin halal karena bahan dasarnya juga berasal dari lemak dan dapat berasal dari lemak hewani), pembuatan lilin, dan hasil sintesis dari bahan dasar minyak bumi. Di samping itu, asam lemak pun dapat dihasilkan dari sintesis kimia. Masalahnya, bagaimana mengenali asam lemak atau gliserol yang berasal dari hewani dan yang berasal dari hasil sintesis kimia. Apalagi jika asam lemak atau gliserol tersebut telah direaksikan lagi dengan senyawa lain membentuk senyawa baru. Sebagai contoh, monostearin adalah monogliserida yang dapat dihasilkan dari reaksi antara gliserol dengan asam stearat (anggap keduanya hasil sintetis kimia), akan tetapi dapat pula berasal dari hidrolisis trilgiserida lemak hewani. Bagaimana membedakan asal keduanya, tentu saja tidak mudah, secara fisik jelas tidak bisa sama sekali. Melalui analisis laboratorium mungkin masih dapat membedakannya pada tingkat tertentu, misalnya dengan mendeteksi adanya isotop 14C, atau rasio isotop 13C dengan 12C. Hal ini dapat dilakukan karena gliserol hasil sintesis kimia berasal dari minyak bumi yang mempunyai komposisi isotop karbon yang berbeda dengan yang terdapatpada hewan. Walaupun demikian, jelas hal ini memerlukan peralatan canggih dan keahlian tinggi, apakah Indonesia telah memiliki alat dan keahlian yang diperlukan? Dalam beberapa hal mungkin dapat dilakukan di Indonesia, tetapi jelas memerlukan waktu, biaya dan usaha yang besar. Itu baru satu kasus saja, yang masih mungkin dipecahkan melalui analisis laboratorium. Akan tetapi, apabila kita ingin membedakan yang mana yang berasal dari minyak nabati dan mana yang berasal dari lemak hewani, jelas hal ini akan sangat sulit sekali, bahkan bisa jadi tidak mungkin. Oleh karena itu, analisis laboratorium tidak dapat dijadikan andalan, hanya pelengkap pada kasus-kasus tertentu saja, sedangkan metode pemeriksaan halal yang sebaiknya akan dikemukakan pada seri tulisan ketiga yaitu mengenai sertifikasi. Beberapa lagi yang diragukan kehalalannya dapat dilihat pada Tabel 3 (daftar bahan tambahan makanan yang sudah dibahas sebelumnya dengan maksud untuk melengkapi informasi yang telah disampaikan). Keraguan akan kehalalan bahan-bahan tersebut berasal dari kemungkinan bahwa bahan tambahan tersebut berasal dari bahan hewani yang diharamkan atau minuman yang memabukkan. Nomor yang menyertai nama bahan tersebut adalah kode yang berlaku di negara Masyarakat Eropa, secara umum semua kode bahan tambahan makanan diawali dengan E, kemudian digit pertama menunjukkan kelompoknya, apakah pengawet, pengemulsi, antioksidan, dan lain-lain.
Dari Tabel 3 terlihat banyak sekali pangan olahan yang perlu diwaspadai kehalalannya karena bahan tambahan makanannya yang masih perlu diteliti. Walaupun demikian, kembali perlu ditegaskan, tidak berarti pasti haram karena bahan-bahan pengganti yang halal juga sudah banyak dan pembuatannya tidak harus melalui jalan yang dijelaskan dalam tabel, karena masih mungkin ada berbagai alternatif seperti telah dibahas untuk kasus pengemulsi. Ada satu jenis bahan tambahan makanan yang juga rawan kehalalannya (beberapa), sayangnya bahan ini banyak dipakai pada makanan olahan, bahan tambahan tersebut yaitu perisa (flavourings). Kekhawatiran ini disebabkan oleh karena beberapa hal, yaitu: 1) pelarut yang digunakan di antaranya etanol dan gliserol, 2) bahan dasar pembuatannya, 3) asal bahan dasar yang digunakan. Sebagai contoh, untuk menghasilkan flavor daging diperlukan base yang dibuat dari hasil reaksi asam amino atau protein hidrolisat, gula dan kadang-kadang lemak atau turunannya. Selain itu, pada waktu formulasi untuk flavor ayam misalnya (sering digunakan untuk mie instan, sup ayam, kaldu ayam, produk chiki (ekstrusi), dll), seringkali diperlukan lemak ayam, sehingga perlu jelas dari mana asalnya. Contoh lain lagi, untuk flavor mentega diperlukan bukan hanya bahan-bahan kimia tunggal pembentuk aroma mentega, tetapi juga asam-asam lemak untuk membentuk rasa dan mouthfeel, tentu saja perlu jelas dari mana asam lemaknya. Itu hanya dua contoh saja, perlu disadari bahwa jenis flavor ini jumlahnya ratusan, terbuat dari ribuan senyawa kimia bahan dasar, di samping pelarut, pengemulsi, enkapsulan, penstabil, dan aditif lainnya. Bisa dibayangkan bagaimana repotnya mengaudit kehalalan bahan flavor ini, bukan pekerjaan mudah dan kembali memerlukan keahlian dan bekal pengetahuan yang tinggi di bidang ini, tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang.
Tabel 3. Bahan Tambahan Makanan yang Termasuk Diragukan Kehalalannya.
No. Nama Bahan dan Kode Asal/Pembuatan Fungsi Contoh produk yang menggunakan
1 Potasium nitrat (E252) Dapat dibuat dari limbah hewani atau sayuran Pengawet, kuring,
mempertahankan warna daging Sosis, ham, Dutch Cheese
2a L-(+)-asam tartarat (E334) Kebanyakan sebagai hasil samping industri wine Antioksidan, pemberi rasa asam Produk susu beku, jelly, bakery, minuman, tepung telur, wine, dll.
2b Turunan-turunan asam tartarat E335, E336, E337, E353 (dari E334) Dapat berasal dari hasil samping industri wine antioksidan, buffer, pengemulsi sama dengan di atas
3 Gliserol/gliserin (E422) Hasil samping pembuatan sabun, lilin dan asam lemak dari minyak/lemak (dapat berasal dari lemak hewani) pelarut flavor, menjaga
kelembaban (humektan),
plasticizer pada pengemas Bahan coating untuk daging, keju, cake, desserts, dll
4 Asam lemak dan turunannya, E430, E431, E433, E434, E435, E436 Dapat berasal dari turunan hasil hidrolisis lemak hewani Pengemulsi, penstabil, E343:
antibusa Produk roti dan cake, donat, produk susu: es krim, desserts beku; minuman, dll
5 Pengemulsi yang dibuat dari gliserol dan/atau asam lemak (E470 – E495) Dapat dibuat dari hasil hidrolisis lemak hewani untuk menghasilkan gliserol dan asam lemak Pengemulsi, penstabil, pengental,
pemodifikasi tekstur, pelapis,
plasticizer. Snacks, margarin, desserts, coklat, cake, puding
6 Edible bone phosphate (E542) Dibuat dari tulang hewan Anti caking agent, suplemen
mineral Makanan suplemen
7 Asam stearat Dapat dibuat dari lemak hewani walaupun secara komersil dibuat secara sintetik Anticacking agent
8 L-sistein E920 Dapat dibuat dari bulu hewan/unggas dan di Cina dibuat dari bulu manusia Bahan pengembang adonan, bahan
dasar pembuatan flavor daging Tepung dan produk roti, bumbu dan perisa (flavor)
9 Wine vinegar dan malt vinegar Masing-masing dibuat dari wine dan bir pemberi flavor bumbu-bumbu, saus, salad
Sumber: Hansen dan Marsden, 1997. E for Additives. Thorsons, England.
Kehalalan suatu produk pangan pada era global ini menjadi kompleks, memerlukan penanganan yang serius karena banyak kemungkinan yang dihadapi yang dapat sampai haramnya atau halalnya suatu produk pangan. Di samping itu, pekerjaan pemeriksaan kehalalan suatu produk pangan tidak bisa sembarangan, memerlukan ketelitian tinggi, memerlukan pengetahuan asal usul bahan dan proses pengolahan pangan itu sendiri, dan yang terpenting analisis laboratorium tidak dapat dijadikan andalan menentukan kehalalan suatu produk pangan. Mungkin bekal yang terpenting yang berkaitan dengan bahan ialah pengetahuan yang mendalam mengenai bahan itu sendiri. Di samping itu, diperlukan metode pemeriksaan yang tepat dan pembentukan sistem jaminan halal yang handal.

Show More

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button