LainnyaSosialUncategorized

Kronologis Reklamasi Pantai Utara Jakarta

Tahun 1995
Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden No 52 tahun 1995 mengenai reklamasi Teluk Jakarta. Keppres mengatur bahwa gubernur DKI Jakarta adalah pihak berwenang untuk reklamasi. Lampiran Keppres menunjukkan gambar di mana reklamasi tidak berupa pulau-pulau terpisah dari garis pantai utara melainkan perluasan Pantura.

Tahun 1997
Krisis moneter Asia menerpa Indonesia sehingga proyek reklamasi tertunda

Tahun 1999
DPRD dan Pemda DKI di bawah kepemimpinan Gubernur Sutiyoso mengeluarkan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di mana reklamasi masuk ke rencana tata ruang dan berubah dari rencana 1995. Tujuan reklamasi disebutkan untuk perdagangan dan jasa internasional, perumahan dan pelabuhan wisata. Perda RTRW mengatakan reklamasi seluas kurang lebih 2.700 Ha dan diperuntukkan bagi perumahan kelas menengah atas.

Tahun 2003
Kementerian Lingkungan Hidup, saat itu dipimpin Menteri Nabiel Makarim, menerbitkan Keputusan Menteri No. 14 tahun 2003 yang menyatakan bahwa proyek reklamasi dan revitalisasi Pantura Jakarta tidak layak dilaksanakan. Kementerian mengatakan bahwa reklamasi akan meningkatkan risiko banjir terutama di kawasan utara, merusak ekosistem laut, dan menyebabkan penghasilan nelayan menurun. Proyek juga akan membutuhkan sekitar 330 juta meter kubik pasir (untuk wilayah seluas 2.700 Ha), dan akan mengganggu PLTU Muara Karang di Jakarta Utara.

Enam kontraktor mengguggat keputusan tersebut ke PTUN. Enam perusahaan tersebut adalah: PT Bakti Era Mulia, PT Taman Harapan Indah, PT Manggala Krida Yudha, Pelindo II, PT Pembangunan Jaya Ancol and PT Jakarta Propertindo.

Tahun 2007
Banjir rob yang cukup parah menerpa Jakarta Utara disebabkan oleh pasang yang sangat tinggi yang terjadi satu kali setiap 18 tahun.

Gubernur Sutiyoso menerbitkan izin prinsip untuk Pulau 2A yang kemudian menjadi Pulau D untuk PT Kapuk Naga Indah, anak perusahaan Agung Sedayu Group pada 19 Juli dalam Surat Gubernur Nomor 1571/-1.711

Tahun 2008
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Peraturan Presiden no 54 tahun 2008 tentang rencana tata ruang Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur. Pasal 70 menyatakan bahwa Keppres No. 52/1995 masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan di bawah Perpres 2008 tersebut. Namun Pasal 72 menyatakan Keppres No. 52/1995 sepanjang berkaitan dengan aspek tata ruang tidak lagi berlaku. Kedua pasal ini menjadi sumber perdebatan mengenai Keppres No. 52/1995 yang dijadikan dasar hukum utama reklamasi Teluk Jakarta oleh Pemda DKI Jakarta.

Tahun 2009
Mahkamah Agung memenangkan Kementerian Lingkungan Hidup dalam kasus gugatan enam kontraktor terhadap keputusan menteri yang menyatakan reklamasi tidak layak pada tingkat kasasi. Sebelumnya kementerian kalah di dua pengadilan di bawahnya.

Setelah banjir rob parah di 2007, pemerintah Belanda mengunjungi Pemerintah pusat dan pemprov DKI Jakarta untuk merancang system pertahanan laut yang dilakukan pada 2009-2012, yang kemudian dikenal sebagai “giant sea wall” atau Great Garuda. Dalam masterplan Jakarta Coastal Defense System yang kemudian di 2013 berganti nama menjadi National Capital Integrated Coastal Development (NCICD). Fauzi memasukkan rencana reklamasi pulau-pulau ke dalam NCICD. Alasannya adalah untuk kemitraan antara pemerintah dengan pengembang, di mana pengembang diminta sumbangannya untuk memperbaiki tanggul laut yang telah ada, yang disebut sebagai NCICD Fase A. Masuknya rencana reklamasi pulau DKI telah menghidupkan lagi rencana reklamasi yang selama ini nyaris mati suri. Akibatnya banyak orang menyangka bahwa reklamasi pulau-pulau DKI bermanfaat untuk melindungi Jakarta dari banjir rob.

Tahun 2010
Di bulan Agustus Fauzi Bowo menerbitkan izin pelaksanaan sebagai kelanjutan izin prinsip dari Sutiyoso untuk Pulau 2A, yang kemudian disebut sebagai Pulau D, kepada PT Kapuk Naga Indah.

Tahun 2011
Dalam persidangan Peninjauan Kembali kasus Kementerian Lingkungan Hidup vs enam kontraktor, Mahkamah Agung memenangkan 6 kontraktor.

Tahun 2012
Pada bulan Januari, DPRD Jakarta mengesahkan Perda no 1 tahun 2012 tentang RTRW 2010–2030 yang memasukkan reklamasi pulau-pulau, saat itu berjumlah 14 sesuai lampiran RTRW. Gambar satelit yang diambil dari Google Earth merekam bahwa sudah ada titik kecil di utara Pantai Indah Kapuk yang adalah cikal bakal Pulau D.

Pada 19 September 2012, Fauzi Bowo menerbitkan Pergub no 121/2012 mengenai Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Untuk pertama kalinya Pemda DKI Jakarta mengungkap bawah akan ada 17 pulau yang dinamai Pulau A sampai Pulau Q dengan total wilayah 5.155 hektar. Pergub memproyeksikan akan ada 750.000 penduduk baru di ke-17 pulau baru.

Pada 21 September 2012, Fauzi menerbitkan izin prinsip untuk Pulau F, G, I, dan K. Sehari sebelumnya, 20 September, hasil hitung cepat pemilihan kepala daerah 2012 mengumumkan bahwa Fauzi kalah dari pasangan Joko “Jokowi” Widodo dan Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama. Pada hari itu Fauzi menelepon Jokowi untuk mengucapkan selamat.

Pada 5 Desember 2012 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Perpres no 112 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Indonesia. Pasal 16 menyatakan bahwa izin pelaksanaan reklamasi di Kawasan Strategis Nasional Tertentu harus mendapatkan rekomendasi menteri terkait.

Tahun 2013
Pada 12 Desember 2013 gubernur Jokowi rapat dengan Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengenai reklamasi dan NCICD. Ia mengatakan di rapat yang rekamannya tersedia di YouTube bahwa gubernur sebelumnya (Fauzi Bowo) baru mengeluarkan izin pelaksanaan untuk satu pulau dan ada izin-izin yang kadaluwarsa di September 2013 namun sengaja tidak diperpanjang oleh Jokowi. Ia mengatakan keputusan tidak memperpanjang diambil karena ia ingin reklamasi menguntungkan masyarakat bukan developer.

Tahun 2014
Pada 10 Juni 2014, sembilan hari setelah Jokowi mengambil cuti untuk kampanye presiden, Ahok, saat itu menggantikan Jokowi sebagai Pelaksana Tugas atau Plt, mengeluarkan perpanjangan izin prinsip yang sudah kadaluwarsa di September 2013 yang dikeluarkan Fauzi di 2012 untuk pulau F, G, I, dan K.

Pada 23 Desember 2014, Ahok menerbitkan izin pelaksanaan untuk pulau G untuk anak perusahaan Agung Podomoro Land, PT Muara Wisesa Samudra. Saat itu Ahok kurang dari sebulan resmi menjabat sebagai gubernur; ia dilantik pada 19 November 2014.

Tahun 2015
Di bulan April, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti meminta Pemda DKI untuk menghentikan reklamasi dengan alasan itu adalah wewenang pemerintah pusat. Pemda DKI menanggapi dengan mengatakan bahwa reklamasi 17 pulau bukanlah bagian dari NCICD, dengan demikian merupakan wewenang pemda sesuai dengan Keppres 1995 mengenai reklamasi Teluk Jakarta.

Di bulan September Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Indonesia (Kiara), dan sejumlah nelayan Muara Angke menggugat pemda DKI karena telah menerbitkan izin untuk Pulau G untuk Pluit City di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Nelayan mengatakan reklamasi telah mengancam wilayah mereka mencari nafkah sehingga mereka harus berlayar lebih jauh. Beberapa nelayan juga bersaksi telah melihat lumpur mengambang di sekitar wilayah pembangunan Pulau G.

Bulan Oktober dan November Ahok menerbitkan empat izin pelaksanaan untuk pulau F, H, I dan K untuk PT Jakarta Propertindo, anak perusahaan Intiland Tbk, PT Taman Harapan Indah, anak perusahaan tak langsung Agung Podomoro PT Jaladri Kartika Pakci yang bermitra dengan PT Pembangunan Jaya Ancol (PJA), dan Pulau K untuk PJA.

Pada 23 November, pemda DKI mengirimkan dua rancangan peraturan daerah tentang zonasi reklamasi dan pulau-pulau kecil di utara Jakarta dan rencana tata ruang kawasan strategis reklamasi ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pemda DKI mengatakan reklamasi penting untuk pembangunan waterfront city di Jakarta.

Tahun 2016
Di bulan Januari, The Jakarta Post menemukan gambar satelit dari Google Earth yang memperlihatkan bahwa KNI telah membangun Pulau C yang melekat pada Pulau D. Seharusnya antara kedua pulau dipisahkan kanal selebar kira-kira 300 meter. Izin Pulau C juga belum dipublikasikan pemda meski wartawan The Jakarta Post telah memintanya sejak bulan Oktober 2015. Hingga tulisan ini diterbitkan di bulan Mei 2016, kami belum mendapatkan salinan izin pelaksanaan maupun izin prinsip Pulau C yang dulu disebut sebagai Pulau 1.
Pulau C (separuh) dan Pulau D yang dempet bikinan PT Kapuk Naga Indah, anak perusahaan Sedayu. Untuk mencapai pulau, warga harus melalui gated community Pantai Indah Kapuk.

Pada Februari, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Koalisi Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), dan nelayan Muara Angke menggugat pemda atas penerbitan izin pelaksanaan pulau F, I dan K di PTUN.

Pada bulan Maret, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tangan anggota DPRD DKI Jakarta dari Partai Gerindra, M. Sanusi, dengan tuduhan suap berkait dua raperda reklamasi. KPK juga menahan Presiden Direktur Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja untuk dugaan yang sama.

Pada tanggal 31 Mei, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta memenangkan gugatan nelayan Jakarta Utara melawan PT Muara Wisesa Samudra dan Pemerintah DKI Jakarta yang mengeluarkan Izin Pelaksanaan Pulau G.

Dalam pertimbangan hukumnya, hakim menyatakan bahwa izin reklamasi
• Melanggar hukum karena tidak dijadikannnya UU 27 Tahun 2007 dan UU 1 Tahun 2014 sebagai dasar
• Tidak adanya rencana zonasi sebagaimana diamanatkan Pasal 7 ayat 1 UU 27 Tahun 2007
• Proses penyusunan Amdal tidak partisipatif dan tidak melibatkan nelayan
• Reklamasi tidak sesuai dengan prinsip pengadaan lahan untuk kepentingan umum sebagaimana UU 2/2012.
• Tidak ada kepentingan umum dalam reklamasi, hanya kepentingan bisnis semata
• Mengganggu objek vital
• Menimbulkan dampak fisik, biologi, sosial ekonomi, dan infrastruktur.
• Hakim juga menyatakan bahwa reklamasi menimbulkan kerusakan lingkungan dan berdampak kerugian bagi para penggugat (nelayan)

Belajar dari reklamasi di Malaysia
Forest City berada diatas lahan seluas 20 km2 (2025 ha) atau setengah dari luas Jakarta Pusat. Perusahaan properti terbesar ketiga di China ini, akan membangun 4 pulau buatan di selatan Malaysia. Diharapkan akan ada 700.000 orang bermukim disini. Dengan dana pembangunan kota reklamasi sebesar US$ 100 miliar diharapkan proyek ini akan selesai pada 20 tahun mendatang atau 2035.
Salah satu pengembang China, Country Garden Pasificveiw Sdn Bhd mempunyai beberapa saran terkait proyek reklamasi di Indonesia.
Country Garden yang mempunyai proyek properti di Iskandar Malaysia, saat ini memang sedang mengerjakan salah satu proyek kota reklamasi terbesar di Asia yaitu Forest City. Yu Runze, Direktur Strategi Country Garden Pasificview mengatakan sebelum membangun kota reklamasi ini, Forest City memang menghabiskan waktu 9 bulan untuk memastikan memenuhi syarat terkait lingkungan. Selain itu menurut Yu, Country Garden juga melakukan mediasi dengan masyarakat, nelayan dan lembaga swadaya masyarakat untuk memastikan proyek kota reklamasi ini berjalan lancar. Yu Runze mengatakan Forest City benar-benar mendengar perwakilan desa dan memberikan kompensasi ke masyarakat. Selain itu pengembang juga bekerjasama dengan pemerintah dengan pembagian 42% saham Country Garden Pasific View Sdn Bhn kepada pemerintah Johor melalui Esplanade88.
Pada awalnya menurut Yu memang banyak LSM menolak kehadiran proyek ini, namun dengan memastikan keberpihakan pengembang ke lingkungan, bisa meminimalisir hal ini. LSM yang biasa melakukan demo, menurut Yu ditawari untuk menjadi pemandu wisata dalam pengembangan proyek ini. Forest City juga mempunyai program 4 tahun bersama Universitas di Malaysia untuk melindungi bentang laut dari abrasi.
Untuk proyek reklamasi di Indonesia menurut Yu, bisa berhasil jika ada rencana evaluasi dan investasi secara mendalam. Dengan memastikan kota reklamasi ramah lingkungan maka masyarakat akan paham mengenai fungsi dari proyek ini.

Show More

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button